Kalau Jakarta kena demam Java Jazz tanggal 5 - 7 Maret ini, maka saya bikin acara film festival sendiri. Tanggal 5-7 Maret saya isi dengan berbagai film yang ingin saya tonton namun selama ini belum sempat. Jadilah tanggal 5 saya menyaksikan Alice in Wonderland 3D, tanggal 6 Percy Jackson and the Lightning Thief, lalu hari ini Confucius.
Komentar singkat saya? Alice in Wonderland bagus juga, namun tidak cocok buat anak kecil karena filmnya terlalu kelam, khas Tim Burton. 3D nya buat saya mengecewakan, kalah jauh dari Avatar. Aksi Johnny Depp kok tak jauh beda dari actingnya sebagai Captain Jack Sparrow di The Pirates of Caribbean ya?
Percy Jackson, seru juga, tidak pakai mikir tapi rame.
Lalu, Confucius, yang bikin confuse. Tadinya saya menyangka kita akan dibawa masuk ke alam filosofinya, tetapi malah bercerita tentang perjalanan hidupnya. Saya sempat mengantuk di awal-awal, dan sempat khawatir bahwa teman nonton saya hari ini yang sedang flu dan dalam pengaruh obat flu akan tertidur. Untung tidak, karena dia pecinta berat film Asia. Meski agak kecewa, saya akhirnya sekarang mengetahui bahwa kisah hidup Confusius atau di Indonesia dikenal sebagai Kong Hu Cu itu ternyata berat sekali dan terlunta lunta. Namun sebagai seorang filsuf, saya heran, kok di tengah kesulitan yang segitu besarnya, dia meninggalkan keluarga yang begitu dicintainya dan sampai meninggal tidak diceritakan lagi nasib isteri dan kedua anaknya ya?
Banyak sih, kata-kata bijak dan cerdas yang dikatakan Confucius dalam film itu, tapi tidak ada yang benar-benar terkait di otak. Satu-satunya pelajaran yang saya tarik dari film itu datangnya justru bukan dari Confucius, melainkan dari Lao Tzu, sang pembuat ajaran Tao. Dalam film diceritakan bahwa Confucius terlalu bersikukuh dan terlalu kaku dalam menerapkan budi pekerti dan kesopanan dalam setiap tatanan pemerintahan dan pertahanan. Dalam sebuah perbincangan imajiner, Lao Tsu menasihati Confucius untuk berlaku seperti air yang terlihat lemah karena mengikuti kemana perginya arus dan lekuk sungai, namun bisa menjadi sangat bertenaga saat badai tiba.
Saya lalu merenung. Saya harus menjadi seperti air. Tapi bagaimana caranya ya? Antara paham dan tidak paham apa yang dikatakan Lao Tsu. Saya memahaminya sebagai berikut: Melihat sifat air yang sepertinya lemah, di sana ada unsur fleksibilitas, kelenturan, ketidakkakuan. Kalau dalam politik, mungkin bisa juga diterjemahkan dengan luwes, ahli negosiasi dengan baik. Namun air juga dapat menghasilkan kekuatan dan daya yang maha dahsyat. Kekuatan ini juga menggambarkan kekuatan fisik dan pikiran, kekuatan pandangan dan pendapat, pendirian yang kuat, karakter yang kuat, ketahanan yang kuat. Karena itu kita sebaiknya bersikap pula seperti air. Memiliki dasar-dasar nilai dan karakter yang menjadi pendirian dan ketahanan yang kuat, namun cukup fleksibel dalam melihat situasi sehingga dapat diterima oleh semua pihak tanpa kehilangan jati diri kita. Ibaratnya, meskipun cukup luwes mengikuti arus yang ada, kita tetap terlihat berkilau diantara titik air yang lain.
Apakah saya sudah seperti air? Mungkin sedikit, tapi yang jelas belum sempurna. Mungkin selama ini saya lebih seperti air keras yang kelihatannya cukup fluid, cair, tapi tetap menggumpal dan masih bisa dilihat jelas perbedaannya dengan zat cair lainnya, karena terlihat berkilau angkuh.
Filosofi air, adalah filosofi tingkat tinggi. Kelihatannya sederhana, namun pada prakteknya tidak mudah diterapkan. Di dalamnya termasuk pemikiran mengalah untuk menang, mundur untuk melangkah maju, diam untuk bersuara.
Saya sudah sering mendengar filosofi air ini dibicarakan, tapi entah mengapa semuanya jadi masuk akal melalui film ini. Mungkin baru sekarang inilah saatnya. Meski masih dalam tahap mencerna, tapi paling tidak mulai hari ini, otak saya mulai mencoba menerapkan prinsip air, yang bisa turun sehalus embun lembut yang kalau dikumpulkan dengan daya yang besar bisa menjadi badai mematikan. Yang bisa mengambil bentuk dari wadahnya, namun tetap terpisah dari tempatnya. Yang bisa berubah bentuk dan wujud, namun tetap air juga.
Hari ini pikiran saya terpusat pada air dan bagaimana saya bisa menjadi air. Saya tidak tahu mengapa air begitu penting dalam hidup saya. Mungkin ada hubungannya dengan dalam kehidupan masa lalu yang pernah diceritakan dalam past life regression, dulunya saya seorang arsitek di mediteranian yang cinta laut. Karenanya di kehidupan sekarang saya punya kondominium di tepi laut. Dan pesan saya ke semua orang yang saya kenal adalah bila nanti saya meninggal, saya ingin dikremasi dan abu saya dibuang seketika di laut, supaya bisa dikenang di mana saja, dan menyatu dengan air. Namun terlepas dari itu semua, saya ingin agar nilai-nilai hidup saya mengalir dan bersifat seperti air. Yang kelihatan lemah mengikuti arus, namun berdaya luar biasa kuat dan berpengaruh saat dibutuhkan...
No comments:
Post a Comment