Meskipun penggila film, saya bukan penggemar film berseri. Bukannya tidak suka, tapi saya tidak tertarik efek kecanduannya. Kalau sudah nonton film berseri, rasanya sudah tidak mau ngapa-ngapain lagi. Maunya nonton terus. Jadi, saya melakukannya sekali-sekali saja. Heroes adalah seri yang paling saya suka. Commander in Chief juga saya suka karena saya bisa lebih paham seluk beluk kepresidenan Amerika dan bagaimana komunikasi politik itu dibangun. Suatu saat saya pernah heran mengapa kakak dan keponakan saya Ella matanya sembab. Ternyata semua itu diakibatkan film seri Korea Endless Love. Saya diam-diam menonton juga, ingin tahu. Hasilnya pengen marah. Film itu begitu bagusnya memainkan perasaan orang, sampai mau benci pada yang jahat pun tidak bisa karena kalau dipikir-pikir, wajar saja si jahat itu melakukan hal yang membuat kita sebalnya setengah mati.
Kini, saya terjebak lagi dalam sebuah seri Korea kuno, The Coffee Prince No. 1. Ini semua gara-gara beberapa minggu yang lalu ketika ibu mertua kakak saya meninggal, saya menginap di rumahnya sekaligus reuni kecil dengan keluarga Gita yang biasanya tinggal di Australia. Malam itu sepulang dari kremasi, kami bongkar-bongkar foto kuno dan koleksi dvd lama mereka. Ella menyodorkan saya sekotak dvd yang harus saya tonton. itulah Coffee Prince. Filmnya segar, yang main juga segar dan ceritanya ringan, dan yang jelas, membuat saya betah di rumah, dan di mobil. Karena begitu sampai rumah, langsung melanjutkan nonton. Begitu naik mobil, langsung nonton lagi.
Coffee Prince bercerita tentang seorang pria muda yang sangat dimanjakan keluarganya. Sang nenek cemas atas masa depan cucunya, dan memberikannya bisnis cafe yang hampir bangkrut sambil mengultimatum usaha itu harus untung 3 kali lipat dalam waktu 3 bulan. Seiring berjalannya waktu, si pria muda ini berkenalan dengan seorang anak yang dikiranya pria. Si pemilik cafe ini lalu mempekerjakan anak ini, dan jatuh cinta. Jungkir balik ia memikirkan ketertarikannya pada si anak "pria" ini sampai akhirnya ia memutuskan dirinya gay dan tak peduli omongan orang, lalu menjalin hubungan dengan "pria" muda ini. Sialnya, semua orang lain tahu kalau kekasihnya perempuan, kecuali dia. Dan ketika kebohongan ini terbongkar, marahlah ia. Dan si cewek dikeluarkan dari pekerjaannya. Dalam hati, dua-duanya tersiksa batin. Inilah keahlian film Korea. Selalu menampilkan bahwa menderita untuk cinta itu uoke banget! Padahal kalau dipikir-pikir lagi, menderita yang nggak penting.
Pagi ini saya sampai pada episode dimana si pria kecewa berat dan jadi muarah muarah terus dengan lingkungannya, terutama pada si gadis yang telah menipu identitas gendernya. Sambil menonton, saya jadi tertarik hal yang lain. Kita ini suka marah marah nggak jelas ya. Suka menyakiti orang lain, dan merasa puas sudah menyiksa orang lain dan diri sendiri, padahal dirinya sebetulnya cinta. Kalau mau dipikir secara lurus, buat apa marah-marah seperti itu? Bukannya dia seharusnya senang tidak perlu repot dengan kehomoseksualitasan yang dipusingkannya dan bisa pacaran dengan gadisnya dan bermesraan di depan umum? Yang terjadi dia malah marah besar karena merasa ditipu.
Saya lalu menghentikan sejenak filmnya dan membiarkan diri dalam kesenyapan pagi. Kita ini suka marah marah soal hal yang tidak penting sehingga lupa akan esensi yang jauh lebih berharga dalam hidup ini. Lalu saya mengevaluasi berbagai kejadian muarah muarah saya dan teman atau kerabat saya. Dan hasilnya mengatakan bahwa hampir sebagian besar, kalau tidak mau dikatakan semua, alasan kemarahan itu kalau mau disimpulkan berasal dari hal yang tidak penting dan tidak esensial dalam hidup ini. Contoh kecil: Barang kesayangan dipecahkan pembantu. Muarah besar. Padahal barang itu paling cuma menang bagusnya dan memorinya. Pembantu yang sudah sehari-hari lelah bekerja dan merawat kita kalah berharganya dengan barang mati. Marah-marah pada pasangan yang terlambat janjian padahal sebenarnya ia sudah setengah mati berusaha secepat mungkin datang untuk kita. Di film coffee prince ada adegan dimana sepupu si pria ganteng ini punya masalah hubungan dengan kekasihnya, padahal kalau dipikir-pikir lagi apa yang dibilang masalah itu sebetulnya tidak ada apa-apanya dibandingkan kenyataan bahwa mereka saling mencintai. Kalau mereka saling cinta, mengapa ada hal yang lain yang lebih penting dari cinta mereka?
Saya jadi berpikir, bagaimana ya hidup ini kalau tanpa marah-marah seperti itu? Rasanya semua at peace. Tidak ada perceraian dan perpisahan. Adanya hubungan abadi yang manis. Selama ini saya ternyata sering membuat pusing diri sendiri untuk hal yang tidak penting, padahal hal yang hakiki dan paling utama itu sudah ada dari sananya tapi kita cuma take for granted saja. Tadinya saya ingin mengulas dalam blog ini tentang alasan-alasan yang dikemukakan mantan ketika berpisah - yang menurut saya sungguh tak esensial, namun urung saya lakukan, karena saya sudah mendapat banyak protes dan pertanyaan : Kamu masih cinta ya sama dia? Sebaiknya kamu stop mengulas hubungan kalian karena hal itu menunjukkan kamu masih belum totally over that person. Padahal niat saya mengupas sehingga saya bisa belajar dan mengerti lebih banyak dari perjalanan hidup saya...
Tapi sudahlah, ini soal Coffee Prince dan muarah muarah. Saya belum menyelesaikan film seri itu karena akan melakukan aktivitas lain, tapi saya bersyukur disodori film ini. Selain menyegarkan, saya dapat belajar, bahwa marah-marah tak jelas itu tak ada gunanya. Marah-marah yang jelas pun ternyata tidak ada gunanya juga. Jadi, saya bilang dalam hati, bagaimana kalau nanti kamu sudah di ujung tanduk mau marah-marah bertanya dulu pada diri sendiri : Penting gak seeh marah-marah gini?
No comments:
Post a Comment