Sebuah transkrip jawa yang ditempel di WC lantai dua toko Mirota di Yogyakarta menarik perhatian saya :
"Lamun sarwa putus, kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira ketokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak tanduk, amawas pambekaning wong."
"Jika telah paham, simpanlah kepandaian di belakang, perlihatkan kebodohan di depanmu, memudahkan cara bersikap, memahami sikap orang lain."
Petikan ini diambil dari Serat Wedharaga yang diucapkan oleh R.Ng. Ranggawarsita.
Lama saya merenungkan. Kenapa kalau pandai malah disuruh disembunyikan. Bukannya orang selalu ingin menonjolkan kepintarannya supaya dianggap orang? Lha contohnya saja undangan kawinan. Gelar itu kan urusan akademis, tapi waduh, selalu tak pernah ketinggalan dipasang sampai titik komanya untuk urusan percintaan alias kawinan. Supaya bisa dibilang, waaah, anak mantunya hebat hebat yaaa.... Saya lalu pada satu kesimpulan untuk setuju dengan Ranggawarsita, kecuali untuk satu hal. Mungkin terjemahan bodhonira itu kurang tepat kalau diterjemahkan kebodohan. Mungkin, sekali lagi mungkin, lebih tepat kalau diterjemahkan bebas sebagai ketidaktahuan, ketidakmengertian.
Yang dibicarakan Ranggawarsita adalah pemahaman sikap orang. Beliau rupanya mau memberi kita tips agar bisa mengetahui isi hati dan sikap seseorang, sebaiknya kita tidak bersikap keminter, sok pandai atau menonjolkan kepandaian kita. Saya sendiri merasa pusing kalau bertemu seorang ahli, dan bicaranya bahasa teknis melulu. Saya sudah tahu sih, dia orang pintar, tapi menurut saya dia tidak pintar kalau tidak bisa menjelaskan keahliannya kepada saya orang yang dungu ini. Dari pengalaman hidup saya belajar, seseorang itu bisa dikatakan pintar atau pandai kalau bisa menjelaskan bidangnya pada seseorang yang paling sederhana sekalipun. Jadi, kalau kita pintar tapi tidak bisa menjelaskan dalam bahasa sederhana, kita ini belum bisa di cap benar-benar pintar. Saya sering bilang. "Prof, jangan pake bahasa dewa ya, pake bahasa manusia saja."
Tapi yang dibahas Ranggawarsita bukan sekedar bisa menjelaskan saja. Ia mengisyaratkan pentingnya pemahaman terhadap sikap seseorang sebelum kita bertindak sehingga kita tahu persis bagaimana harus mendekati dan berkomunikasi dengan orang tersebut. Saya merenungkan. Jadi, kalau saya bersikap rendah diri dan tidak sok pintar, kita jadi tahu bagaimana sebetulnya karakter seseorang. Apakah dia rendah diri, atau tinggi hati. Sombong atau sederhana. Baru kita menentukan bagaimana harus bersikap balik kepada orang tersebut. Selama ini saya suka mencari-cari jalan "masuk" agar bisa kemudian terkait dan tek tok dengan seorang stake holder. Kadang bisa langsung "nyantol" kadang chemistry nya saja sudah tidak dapat. Namun kalimat singkat ini bisa jadi bahan acuan saya. Mungkin selama ini saya terlalu menganggap saya ya saya, dan siapa pun mereka harus bisa menerima saya apa adanya. Namun malam ini saya disadarkan untuk mencapai tujuan itu, saya harus terlebih dahulu memahami lawan bicara saya, dan untuk itu tips nya adalah dengan merendahkan diri. Biarlah orang itu tahu "siapa kita" pada saatnya.
Untung saya ini orangnya beseran. Tukang kebelet pipis. Kalau tidak, saya tidak akan pernah membaca tulisan jawa yang bisa menjadi kunci sebuah strategi komunikasi yang luar biasa jitu. Merendah untuk memahami dan menang. Terima kasih Ranggawarsita, eh, terima kasih Mirota ...
1 comment:
terimakasih tulisanya :)
Post a Comment