Langkah saya terhenti dan berbelok ketika saya melihat seorang rekan kantor yang baru kehilangan ayahnya sedang bercerita di ruangan sumberdaya manusia. Ia kemudian menceritakan bahwa sampai saat ini ia tidak bisa menerima ayahnya yang sangat dicintainya meninggal begitu cepatnya karena penyakit jantung. "Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, kalau saja penyakitnya parah, kita bisa memaklumi, ini tidak, begitu singkat, saya tidak siap," begitu isaknya.
Saya lalu bilang, manusia ini sukanya sadis dan menyiksa. Jadi kalau kita melihat sang ayah kena kanker dan dengan mata kepala sendiri melihat proses penderitaan Beliau menjerit sakit, rambut rontok karena terapi kemo, kehilangan napsu makan, mual, baru kita rela ditinggal pergi? Seharusnya kita bersyukur Beliau meninggal dalam keadaan tidak lama menderita dan pergi dengan enak. Mengapa kita jadi egois mau enaknya kita sendiri tanpa memedulikan orang yang katanya sangat kita cintai? Saya berkata begini bukan karena saya tidak punya perasaan, justru karena saya pengalaman dengan kepergian ayahanda tercinta, yang juga meninggal karena urusan jantung. Bukan saya tidak kehilangan, namun setiap kali saya kangen dan ingat Beliau, saya mengucapkan syukur kepada Tuhan atas kemurahan dan kemudahan proses beralihnya Ayah dari dunia fana ke alam keabadian. Saya sendiri, seperti kebanyakan kita sangat berharap dan mendambakan hal yang sama dapat dikaruniakan kepada kita, diberi kemudahan saat ajal tiba. Rasa syukur itu mengalihkan kedukaan saya menjadi nikmat atas berkah Tuhan kepada ayah dan keluarga, sekaligus melapangkan jalan ayah kembali ke haribaan Yang Kuasa. Rekan saya pun tercenung dan menyadari bahwa apa yang saya katakan benar adanya. Memang, butuh waktu, niat dan pemahaman untuk bisa mengubah rasa kehilangan yang memberatkan almarhum dengan rasa syukur yang melapangkan jalannya.
Hanya beberapa jam saya ber"kotbah" soal kematian, saya melayat klien saya yang masih berusia muda, yang kehilangan ibundanya semalam karena - juga - terkena serangan jantung. Klien saya ini masih muda, dan ibundanya juga meninggal dalam usia relatif muda : 55 tahun. Klien saya anak tunggal, ayahnya sudah lama meninggal. Beberapa bulan sebelumnya, isterinya meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil. Selama ini, ia menitipkan kedua anaknya di bawah asuhan sang ibu, namun kini ia harus berpikir bagaimana harus mengatur mengasuh anak dan kerja. Ibu mertuanya sudah mulai menghubunginya untuk menyerahkan pengasuhan anaknya kepada mertua, namun ia masih berberat hati. Baru kehilangan isteri, sekarang ibu, masa akan kehilangan pula kedua belahan hatinya? Dengan caranya sendiri yang kelihatannya tegar, namun tampak sedih dan bingung, ia mencoba berdamai dengan kehilangan orang-orang tercintanya. Ia harus tegar, karena ia seorang diri dan menjadi tumpuan kedua anaknya yang masih kecil.
Malam ini saya terjebak kemacetan yang tidak masuk akal. Maka saya mengisi waktu dengan menonton film berjudul "The Greatest" yang diperankan oleh Pierce Brosnan dan Susan Sarandon. Bertutur mengenai sebuah keluarga yang harus menerima kenyataan kehilangan putera tertua yang prestasinya sedang mekar di sekolahnya, film ini menggambarkan bagaimana ibu, ayah dan adik menghadapi kenyataan pahit ini. Masing-masing memiliki caranya masing-masing. Sang ayah cuma "makan dalam" saja, sedih tapi tak terungkapkan sampai-sampai akhirnya harus masuk rumah sakit karena stress dan rasa kehilangan yang mendalam. Sang ibu bermuram durja saja, karena setiap jengkal yang teringat hanya anak sulungnya. Rumah jadi tak terurus, anak dan suami yang masih ada tak terperhatikan, dan ia menjadi marah bila ada anggota keluarganya yang bisa rileks tertawa sedikit. Ia bahkan marah ketika pembantu membereskan ruang almarhum dan mencuci pakaiannya. Ia merasa kehilangan "bau" sang anak. Kebencian si adik terhadap kakaknya ternyata kamuflase saja, sebenarnya ia melihat kakaknya sebagai seorang sosok ideal yang ingin ditirunya, dan ia menyesal tak dapat mengucapkan selamat tinggal atas kepergian sang kakak karena kecelakaan. Semua itu masih ditambah kedatangan pacar almarhum yang hamil dan bagaimana si keluarga kecil yang patah hati ini harus berhadapan dengan kenyataan pahit lainnya.
Ketika film ini baru terputar beberapa saat, saya jadi heran sendiri : mengapa hari ini saya banyak ditunjukkan mengenai bagaimana menghadapi perpisahan karena kematian? Baru beberapa hari yang lalu, saya kehilangan seorang tante dan saya menjadi prihatin pada sepupu saya yang dalam waktu dua bulan ini kehilangan dua orang tercintanya : ibu dan suaminya.
Saya belajar bahwa rasa kehilangan ini seringkali timbul bukan melulu karena rasa cinta kita terhadap almarhum, namun karena kita kehilangan rasa nyaman dan aman sehingga kita merasa takut dan cemas bagaimana kita bisa bertahan tanpa mereka yang kita cintai.
Saya samar-samar ingat sebuah perkataan yang mengatakan :
In the end, what matters most is
How well did you live
How well did you love
and How well did you learn to let go
malam ini saya kembali mendapatkan quote yang senada :
"The Key to Happiness is learning to Let Go" - Hugh Prather
Setiap orang pasti akan meninggal, cepat atau lambat, menderita atau tidak. Manusia tak akan pernah siap sampai kapan pun bila ajal menjemput orang-orang tercinta kita. Bahkan tante saya yang berusia 97 tahun wafat, anaknya masih saja mengatakan tidak siap. Malam ini saya sekali lagi diberi pengertian bahwa ujian hidup kita adalah bagaimana kita mengikhlaskan hidup ini dan memberi arti kedamaian bagi sebuah kepergian, baik bagi yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan. Kenyataan ini sekaligus menjadi pengingat saya bahwa sepedih-pedihnya rasa kehilangan dan penyesalan kita karena merasa masih kurang berbuat banyak kepada yang telah meninggal, akan jauh lebih berarti dan berharga bila kita memberikan perhatian, curahan kasih sayang dan hormat selama mereka masih hidup...
Semoga jiwa-jiwa yang telah mendahului kita mendapat istirahat kekal di surga dan kita diberi kedamaian di bumi karena yakin bahwa mereka yang kita cintai telah kembali ke dalam pelukan Sang Pencipta.
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Tuesday, August 31, 2010
Monday, August 30, 2010
30 Agustus 2010 : Tepat Waktu
Saya menyediakan diri untuk menjemput Frater yang akan membawakan ibadat pelepasan bagi jenazah tante yang akan dimakamkan di TPU Jati Petamburan pagi ini jam 08:00. Maka tepat jam 08:00 saya sudah berada di luar gereja St. Mathias Cinere dan mendapatkan semua pintu masuk dalam keadaan digembok. Saya menelpon saudara dan dia juga tidak tahu pintu masuknya, lalu saya memutuskan untuk turun mobil dan berjalan, memeriksa satu persatu pintu gerbang yang memang tergembok semua. Tepat di depan pintu gerbang utama, saya berhenti celingak celinguk. Pada saat itu, datanglah seorang sedang memarkirkan motornya dari arah dalam. Saya lalu bertanya padanya bagaimana caranya masuk ke area gereja karena saya harus menjemput Frater. Ternyata, orang berhelm itu adalah penjaga gereja yang baru tiba, dan dia bilang, "O, lewat sini saja pak, bawa mobil? Nanti saya bukakan gerbangnya." Lalu serta merta ia mengeluarkan segenggam kunci, dan membukakan pintu.
Saya tercengang sejenak di depan gereja. Buat saya, peristiwa sederhana itu adalah sebuah peristiwa besar yang menunjukkan bahwa Tuhan sudah menyediakan apa yang saya butuhkan tepat waktu. Sang penjaga tiba saat saya di depan gerbang, bukan sebelumnya atau sesudahnya sehingga saya dan dia bisa bertemu pandang di saat yang tepat dan ia tahu bahwa ada orang yang ingin bertanya sesuatu.
Setelah pemakaman, kami mengajak semua pelayat untuk makan siang bersama di restoran Pulau Dua, Senayan. Kami datang dengan berbagai mobil dan sebuah bus besar yang sebagian besar berisi umat gereja. Saat saya sedang mencari frater, saya bertemu seorang aktivis gereja yang mengatakan bis akan segera pulang saja ke Cinere. Saya lalu naik bis dan bertanya kepada seorang tetua gereja dan mendapat jawaban bahwa semua sebenarnya ingin ikut makan siang namun karena ulah aktivis tersebut, mereka pasrah dan mau ikut pulang saja. Saya lalu mengatakan dengan tegas kepada si aktivis bahwa semua bersedia makan siang dan bis akan ke Pulau Dua. Sang aktivis yang malu mengatakan bahwa ia akan ikut bis lalu pulang sendiri. Toh akhirnya ia ikut juga makan siang dan berkumpul dalam sebuah makan siang yang sangat akrab antar keluarga yang berduka dan umat gereja. Ketika sedang makan dan mendengar senda gurau mereka, saya sadar saya bertemu dengan aktivis di bibir pintu pemakaman tepat waktu. Coba tidak bertemu, kami sekeluarga kehilangan semua anggota bis karena sudah keburu pulang.
Malamnya, saya mengatakan kepada teman saya untuk mengganti lagu dari IPOD nya, "Bisa nggak diganti lagu lain yang lebih meriah? Saya sudah berhari-hari mendengar lagu rohani, ingin ada perubahan suasana." Teman saya mengatakan, "Jangan khawatir, ini di shuffle, jadi mainnya akan campur antara lagu rohani dan yang tidak." Saya tidak memprotes lagi, namun separuh perjalanan, kami tiba-tiba sadar bahwa meskipun sudah di random, semua lagu yang terputar adalah hanya lagu rohani. Kami sadarnya setelah saya tanpa sadar ikut bernyanyi salah satu lagu rohani favorit, lalu baru setelah itu lagunya ganti ke non rohani. Saya langsung berkata kepada teman saya, "wah, Tuhan sedang menunjukkan kuasaNya, Ia mau saya mendengarkan lagi lagu rohani, dan bahwa tak pernah ada kata cukup untuk lagu rohani. Kita juga ditunjukkan bahwa hanya bila kita mau ikut kehendakNya, Ia akan memenuhi kehendak kita : buktinya, setelah saya ikut bernyanyi dari hati, rangkaian lagu rohaninya langsung ganti ke lagu Mamammia!"
Hari ini seharian saya belajar untuk ikut rencana Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu menyediakan apa yang kita butuhkan tepat waktu seturut kehendakNya. Persis seperti doa Bapa Kami yang mengatakan "Jadilah KehendakMu." Bukan kehendakku. Dan bahwa kalau kita mau ikut rencanaNya dengan sepenuh hati, Ia akan memenuhi apa yang kita butuhkan. Terima kasih Tuhan atas penyertaanmu dalam hidupku.
Saya tercengang sejenak di depan gereja. Buat saya, peristiwa sederhana itu adalah sebuah peristiwa besar yang menunjukkan bahwa Tuhan sudah menyediakan apa yang saya butuhkan tepat waktu. Sang penjaga tiba saat saya di depan gerbang, bukan sebelumnya atau sesudahnya sehingga saya dan dia bisa bertemu pandang di saat yang tepat dan ia tahu bahwa ada orang yang ingin bertanya sesuatu.
Setelah pemakaman, kami mengajak semua pelayat untuk makan siang bersama di restoran Pulau Dua, Senayan. Kami datang dengan berbagai mobil dan sebuah bus besar yang sebagian besar berisi umat gereja. Saat saya sedang mencari frater, saya bertemu seorang aktivis gereja yang mengatakan bis akan segera pulang saja ke Cinere. Saya lalu naik bis dan bertanya kepada seorang tetua gereja dan mendapat jawaban bahwa semua sebenarnya ingin ikut makan siang namun karena ulah aktivis tersebut, mereka pasrah dan mau ikut pulang saja. Saya lalu mengatakan dengan tegas kepada si aktivis bahwa semua bersedia makan siang dan bis akan ke Pulau Dua. Sang aktivis yang malu mengatakan bahwa ia akan ikut bis lalu pulang sendiri. Toh akhirnya ia ikut juga makan siang dan berkumpul dalam sebuah makan siang yang sangat akrab antar keluarga yang berduka dan umat gereja. Ketika sedang makan dan mendengar senda gurau mereka, saya sadar saya bertemu dengan aktivis di bibir pintu pemakaman tepat waktu. Coba tidak bertemu, kami sekeluarga kehilangan semua anggota bis karena sudah keburu pulang.
Malamnya, saya mengatakan kepada teman saya untuk mengganti lagu dari IPOD nya, "Bisa nggak diganti lagu lain yang lebih meriah? Saya sudah berhari-hari mendengar lagu rohani, ingin ada perubahan suasana." Teman saya mengatakan, "Jangan khawatir, ini di shuffle, jadi mainnya akan campur antara lagu rohani dan yang tidak." Saya tidak memprotes lagi, namun separuh perjalanan, kami tiba-tiba sadar bahwa meskipun sudah di random, semua lagu yang terputar adalah hanya lagu rohani. Kami sadarnya setelah saya tanpa sadar ikut bernyanyi salah satu lagu rohani favorit, lalu baru setelah itu lagunya ganti ke non rohani. Saya langsung berkata kepada teman saya, "wah, Tuhan sedang menunjukkan kuasaNya, Ia mau saya mendengarkan lagi lagu rohani, dan bahwa tak pernah ada kata cukup untuk lagu rohani. Kita juga ditunjukkan bahwa hanya bila kita mau ikut kehendakNya, Ia akan memenuhi kehendak kita : buktinya, setelah saya ikut bernyanyi dari hati, rangkaian lagu rohaninya langsung ganti ke lagu Mamammia!"
Hari ini seharian saya belajar untuk ikut rencana Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu menyediakan apa yang kita butuhkan tepat waktu seturut kehendakNya. Persis seperti doa Bapa Kami yang mengatakan "Jadilah KehendakMu." Bukan kehendakku. Dan bahwa kalau kita mau ikut rencanaNya dengan sepenuh hati, Ia akan memenuhi apa yang kita butuhkan. Terima kasih Tuhan atas penyertaanmu dalam hidupku.
Sunday, August 29, 2010
29 Agustus 2010 : Pecah!
Saya menerima sebuah video yang tidak saya teruskan menontonnya. Awalnya seorang unjuk kebolehan di depan kerabatnya meloncat dari tempat tinggi dan berenang di laut. Lalu, loncatan kedua menjadi sebuah disaster, kepalanya terantuk bibir beton, terpental dan muncul-muncul sudah mengambang dan air langsung membentuk pulau merah karena tercampur darah. Gambar berikutnya menunjukkan muka korban yang langsung meninggal itu, yang sudah tak berbentuk dengan kepala terbelah dua. Dokter di rumah sakit berusaha rekonstruksi kembali wajahnya dengan mencoba menyatukan kepala yang terlihat seperti semangka pecah itu, ditekan digosok kanan kiri sampai pelahan terlihat konstruksi wajahnya. Sampai di situ saya tak mau melanjutkan lagi, Mual. Benar-benar mual.
Saya sering mempertanyakan, mengapa orang gemar menyerempet bahaya? Seringkali jawaban yang saya terima adalah untuk memacu adrenalin. Semakin besar bahaya, semakin nikmat rasanya. Kenalan saya Fira Basuki, pemimpin redaksi Majalah Cosmopolitan mencoba loncat dari menara tertinggi di Auckland dan merasakan sensasi yang luar biasa sekaligus merasakan pasrah kepada Sang Khalik. Teman-teman saya yang lain suka sekali naik rollercoaster. Makin gila, makin seru. Tentu semuanya itu diperhitungkan dengan baik oleh sang penyedia jasa sehingga keamananpun dijamin maksimal. Tapi toh kita tak bisa terus-terusan menantang maut, bagaimana kejadiannya kalau seperti rollercoaster di Taman Ria Remaja beberapa tahun lalu, di Jakarta? Keretanya tiba-tiba berhenti berfungsi tepat ketika posisinya ada di ujung paling atas dan dalam keadaan terbalik. Perlu berjam-jam untuk menurunkan semua penumpangnya. Saya jamin, setelah itu mereka sudah tidak mau lagi naik rollercoaster. Saya jadi membayangkan bagaimana kalau permainan histeria di dufan itu - amit amit - lepas kendali...
Saya juga mempertanyakan seorang teman yang benar-benar gemar nonton film setan namun kenyataannya ia takut bila didatangi setan sungguhan. Ia punya indra keenam dan bisa melihat dan berbicara dengan roh, namun setiap kali ia melihat yang tak kasat mata biasa, ia menjadi sangat ketakutan. Saya bingung. Daripada senangnya ditakut-takuti setan rambut hitam, mendingan menghadapi roh-roh yang mungkin justru butuh bantuannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tertinggal di dunia ini, macam apa yang diceritakan di ghost whisperer.
Saya bisa memahami sensasi adrenalin yang ditimbulkan berbagai kegiatan yang menyerempet bahaya dan setan, namun video yang dikirimkan itu membuat saya sadar dan memutuskan : Jangan menantang bahaya. Jangan menantang setan. You'd never know what and who you are dealing with....
Saya sering mempertanyakan, mengapa orang gemar menyerempet bahaya? Seringkali jawaban yang saya terima adalah untuk memacu adrenalin. Semakin besar bahaya, semakin nikmat rasanya. Kenalan saya Fira Basuki, pemimpin redaksi Majalah Cosmopolitan mencoba loncat dari menara tertinggi di Auckland dan merasakan sensasi yang luar biasa sekaligus merasakan pasrah kepada Sang Khalik. Teman-teman saya yang lain suka sekali naik rollercoaster. Makin gila, makin seru. Tentu semuanya itu diperhitungkan dengan baik oleh sang penyedia jasa sehingga keamananpun dijamin maksimal. Tapi toh kita tak bisa terus-terusan menantang maut, bagaimana kejadiannya kalau seperti rollercoaster di Taman Ria Remaja beberapa tahun lalu, di Jakarta? Keretanya tiba-tiba berhenti berfungsi tepat ketika posisinya ada di ujung paling atas dan dalam keadaan terbalik. Perlu berjam-jam untuk menurunkan semua penumpangnya. Saya jamin, setelah itu mereka sudah tidak mau lagi naik rollercoaster. Saya jadi membayangkan bagaimana kalau permainan histeria di dufan itu - amit amit - lepas kendali...
Saya juga mempertanyakan seorang teman yang benar-benar gemar nonton film setan namun kenyataannya ia takut bila didatangi setan sungguhan. Ia punya indra keenam dan bisa melihat dan berbicara dengan roh, namun setiap kali ia melihat yang tak kasat mata biasa, ia menjadi sangat ketakutan. Saya bingung. Daripada senangnya ditakut-takuti setan rambut hitam, mendingan menghadapi roh-roh yang mungkin justru butuh bantuannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tertinggal di dunia ini, macam apa yang diceritakan di ghost whisperer.
Saya bisa memahami sensasi adrenalin yang ditimbulkan berbagai kegiatan yang menyerempet bahaya dan setan, namun video yang dikirimkan itu membuat saya sadar dan memutuskan : Jangan menantang bahaya. Jangan menantang setan. You'd never know what and who you are dealing with....
28 Agustus 2010 : Sensasi Gossip
Di tengah menunggui jenazah tante, kami sekeluarga berkumpul dan saling berbagi cerita penting. Karena penyemayaman jenazah sudah berlangsung berhari-hari - menunggu pesan anak tertuanya yang ngotot ingin melihat wajah ibunda dan tidak boleh tutup peti, maka makin lama, makin menyurutlah bahan obrolan. Salah satu bahan obrolan adalah cerita tentang tante saya yang satu lagi, yang ada di Belanda. Beberapa hari yang lalu Beliau menyetir sendiri dan kecelakaan. Katanya kelingkingnya patah dan ada perdarahan otak. Lalu berkembang lagi menjadi tempurung kepalanya retak, ngomongnya ngaco. Hari ini, kondisinya meningkat jadi siaga satu, alias koma. Sepupu saya yang tidak mau percaya begitu saja, langsung menanyakan pada narasumber yang berkompeten mengeluarkan statement. Tidak dapat menghubungi anaknya (karena sedang dalam pesawat terbang dari Jakarta menuju Belanda), ya bicara dengan isteri anaknya. Sang isteri mengatakan bahwa keadaan ibu mertuanya semakin membaik, bahkan sudah mengenali orang dan mulai mengobrol. Wah, datang dari mana ya segala kehebohan retak tengkorak dan koma itu?
Saya heran, senang benar kita bergossip, apa lagi kalau gossipnya miring. Sudah miring, yang lebih membuat kita lebih giat lagi adalah memberi bumbu penyedap. Makin miring bumbunya, makin seru rasanya! Sampai kita tidak bisa membedakan lagi mana yang benar, mana yang hasil mengarang bebas. Dan cerita yang sudah berbumbu ini, beredar dari satu orang, ke orang lainnya, dan ke orang lain lagi dengan bumbu yang sudah bertambah banyak dari orang yang dimampiri cerita ini. Lalu semua itu diceritakan dengan gaya sok yakin, seolah-olah si penutur ini memang ada di tempat kejadian perkara.
Males deh! Yang begini ini yang menyebabkan saya malas kumpul-kumpul nggak jelas, termasuk kumpul keluarga. Tapi apa boleh buat, kalau cuma pesta kumpul-kumpul saja, saya masih bisa memutuskan tidak datang, dan itu sering. Kalau soal kematian, ya saya pentingkan. Tujuan saya berkumpul adalah untuk menghormati yang pergi dan memberi penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, supaya mereka tahu bahwa saya ada bagi mereka terutama pada saat duka.
Selama kejadian menggunungnya gossip tentang keadaan tante di Belanda, saya ada di sana bungkam dan hanya melihat seperti ping pong ke kanan kiri depan dan menolh ke belakang. Dalam ukuran sekian menit itu juga, saya seolah menyaksikan sebuah demo masak. Bumbu penyedap semakin bertambah dari begitu banyak mulut sampai pada puncaknya, sepupu saya menelepon tadi. Wow! Saya lalu membayangkan kalau yang jadi topik adalah saya sendiri. Tentu seru, karena banyak hal dari diri yang bisa jadi sasaran empuk gosip. Tapi dipikir-pikir lagi, tentu saya sudah sering jadi ajang gosip, hanya karena saya nya saja ada di sana sehingga mereka tidak berani menggosipkan saya karena akan ketahuan begitu banyaknya bumbu yang sudah dicampurkan sehingga rasanya sudah tak karuan...
Dari situ saya belajar :
1. Jangan menjadi bagian dari gosip.
2. Kalau tidak tahu benar tidaknya, lebih baik tidak diceritakan dan dikatakan.
3. Jangan percaya cerita orang, sebaiknya kalau memang ingin tahu, konfirmasikan langsung pada narasumber yang bersangkutan.
Waktu mereka menanti saya berkomentar terhadap gosip itu, komentar saya : ya... mungkin yang cerita tadi belum selesai, masih komaaaa.....
Saya heran, senang benar kita bergossip, apa lagi kalau gossipnya miring. Sudah miring, yang lebih membuat kita lebih giat lagi adalah memberi bumbu penyedap. Makin miring bumbunya, makin seru rasanya! Sampai kita tidak bisa membedakan lagi mana yang benar, mana yang hasil mengarang bebas. Dan cerita yang sudah berbumbu ini, beredar dari satu orang, ke orang lainnya, dan ke orang lain lagi dengan bumbu yang sudah bertambah banyak dari orang yang dimampiri cerita ini. Lalu semua itu diceritakan dengan gaya sok yakin, seolah-olah si penutur ini memang ada di tempat kejadian perkara.
Males deh! Yang begini ini yang menyebabkan saya malas kumpul-kumpul nggak jelas, termasuk kumpul keluarga. Tapi apa boleh buat, kalau cuma pesta kumpul-kumpul saja, saya masih bisa memutuskan tidak datang, dan itu sering. Kalau soal kematian, ya saya pentingkan. Tujuan saya berkumpul adalah untuk menghormati yang pergi dan memberi penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, supaya mereka tahu bahwa saya ada bagi mereka terutama pada saat duka.
Selama kejadian menggunungnya gossip tentang keadaan tante di Belanda, saya ada di sana bungkam dan hanya melihat seperti ping pong ke kanan kiri depan dan menolh ke belakang. Dalam ukuran sekian menit itu juga, saya seolah menyaksikan sebuah demo masak. Bumbu penyedap semakin bertambah dari begitu banyak mulut sampai pada puncaknya, sepupu saya menelepon tadi. Wow! Saya lalu membayangkan kalau yang jadi topik adalah saya sendiri. Tentu seru, karena banyak hal dari diri yang bisa jadi sasaran empuk gosip. Tapi dipikir-pikir lagi, tentu saya sudah sering jadi ajang gosip, hanya karena saya nya saja ada di sana sehingga mereka tidak berani menggosipkan saya karena akan ketahuan begitu banyaknya bumbu yang sudah dicampurkan sehingga rasanya sudah tak karuan...
Dari situ saya belajar :
1. Jangan menjadi bagian dari gosip.
2. Kalau tidak tahu benar tidaknya, lebih baik tidak diceritakan dan dikatakan.
3. Jangan percaya cerita orang, sebaiknya kalau memang ingin tahu, konfirmasikan langsung pada narasumber yang bersangkutan.
Waktu mereka menanti saya berkomentar terhadap gosip itu, komentar saya : ya... mungkin yang cerita tadi belum selesai, masih komaaaa.....
Labels:
'lawrence tjandra',
gosip
Saturday, August 28, 2010
27 Agustus 2010 : Mempermalukan diri sendiri
Saya iseng membuka sebuah file yang di posting seorang kawan di facebooknya. Film pendek itu berisi wawancara wakil Indonesia di ajang pemilihan Miss Universe 2010. Ada pertanyaan yang cukup personal yang harus di jawab, apa saran wanita bagi seorang pria, kado apa yang paling spesial yang pernah diterima, dan kencan apa yang terburuk. Jawaban yang diberikan, saya tidak bisa memberi komentar karena itu pendapat pribadinya, jadi ya sah-sah saja dia mau menjawab apa, namun yang saya pertanyakan adalah mengapa ia yang dijadikan wakil Indonesia? Apakah orang seperti dia pantas mewakili kita?
Ingatan kita atas ketidakbecusan bahasa Inggrisnya segera merujuk pada pendahulunya beberapa tahun yang lalu, yang segera menuai cacian karena mengatakan "Indonesia is a very beautiful city." Cap bodoh langsung ditempelkan padanya, benar atau tidaknya saya tidak tahu, namun yang pasti ketika saya berkesempatan berinteraksi dengannya, yang saya tangkap darinya adalah sebuah hati yang tulus dan baik. Jadi kalau boleh disimpulkan dari kedua kandidat ini, mereka tidak layak dipersalahkan.
Yang patut dipertanyakan adalah - sekali lagi para juri, dan kita semua. Bisa jadi ada kepentingan terselubung atau politis dengan memenangkan calon ini menjadi Puteri Indonesia yang diawal penganugerahannya saja sudah menuai kontroversi. Tapi kita diam saja. Kalau kita bilang kita tidak punya hak untuk memilih dan menentukan, salah besar. Sejarah sudah membuktikan rakyat punya suara. Ketika rakyat memberontak terhadap tekanan politik dan ekonomi yang begitu menyesakkan, rakyat yang biasa tertindas dapat kembali melawan segala bentuk penindasan dengan bersatu bersuara dan bertindak. Peristiwa 1998 adalah bukti kekuatan rakyat menggulingkan tirani. Kesatuan kita ketika diinjak-injak teroris dalam Indonesia Unite membuktikan keuletan persatuan Indonesia. Persatuan masyarakat dalam menggunakan baju batik timbul karena ulah kepongahan negera tetangga. Jadi, tak ada alasan kita cuma bisa menggerutu atas kemampuan si puteri atau si pemilihnya. Yang salah kita juga, mengapa tidak bersuara kemarin-kemarin saat ia terpilih?
Keluh kesah mengenai penyesalan atas penampilan atau atas kinerja berbagai badan di negeri ini juga semakin akrab di telinga kita. Beberapa saat yang lalu kita bahkan mendengar pemberitaan mengenai keluhan atau teguran (yang kemudian diperhalus sebagai arahan) presiden kepada menterinya yang dianggap lambat. Malam ini saya mendengar pertanyaan seorang ibu tua yang berusia 80 lebih, menanyakan ada apa dengan presiden kita? Saya tidak bisa menjawab, namun dalam hati saya heran, mengapa keluhan seperti ini dijadikan santapan publik? Yang memilih menteri siapa? Kalau Beliau sendiri, mengapa ia mengeluhkan kepada rakyat atas pilihan sendiri? Demikian juga orang-orang yang tidak puas dengan pemerintahan tertentu. Kalau tidak puas, lalu siapa yang memilihnya di pemilihan umum kemarin? Mengapa mengeluh atas pilihan sendiri?
Kita ini sering membuat malu diri sendiri karena mengeluh atas apa yang sudah kita lakukan sendiri. Mungkin karena kita kurang diajar tanggung jawab, jadi dengan mudah melemparkan dan mengekspos kesalahan yang seharusnya justru jadi tanggung jawab kita. Kalau ada yang tidak benar dengan pilihan kita, ya itu tanggung jawab kita untuk membenahinya. Bukan lalu berteriak kepada masyarakat atas pilihan yang telah kita lakukan sendiri dan menyalahkan pilihan itu. Dengan membawanya ke rana publik, berarti mencoreng diri sendiri.
Hari ini saya belajar bahwa mengeluh atas pilihan yang telah diambil sendiri sama dengan mencoreng dan mempermalukan diri sendiri. Kalau ada yang bilang self correction, sebaiknya self correction itu dilakukan atas dasar tanggung jawab dan bukannya atas dasar penghujatan. Kalau wakil kita di ajang Miss Universe memalukan, baiklah rakyat membuat petisi dan mengambil alih pemilihan ajang tersebut sehingga yang terpilih benar-benar cerminan bangsa Indonesia. Yang bangga atas budaya dan bangsanya namun berwawasan dunia. Tak apa bila dalam kenyataannya ia tak mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris, juara yang terdahulu telah membuktikan bahwa ia tak harus bisa berbahasa asing. Yang penting adalah ia telah benar-benar merepresentasikan bangsanya dan berwawasan dunia. Lalu, kalau anak buah kita tidak becus, bisa saja kan ia dipanggil secara pribadi dan diberi arahan, sementara kita sebagai pimpinan unjuk diri dan mengakui kekurangan dan janji kita untuk membenahinya, bukan buang body dan menyodorkan anak buah kita. Salah kita kenapa memilih orang yang tidak kompeten. Kalaupun itu salah pilih, tanggung jawab kita untuk membenahinya.
Morale of the whole discussion: betapa pentingnya mengambil keputusan yang bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan yang kita ambil. Itulah yang membedakan seorang pemenang dan pecundang.
Ingatan kita atas ketidakbecusan bahasa Inggrisnya segera merujuk pada pendahulunya beberapa tahun yang lalu, yang segera menuai cacian karena mengatakan "Indonesia is a very beautiful city." Cap bodoh langsung ditempelkan padanya, benar atau tidaknya saya tidak tahu, namun yang pasti ketika saya berkesempatan berinteraksi dengannya, yang saya tangkap darinya adalah sebuah hati yang tulus dan baik. Jadi kalau boleh disimpulkan dari kedua kandidat ini, mereka tidak layak dipersalahkan.
Yang patut dipertanyakan adalah - sekali lagi para juri, dan kita semua. Bisa jadi ada kepentingan terselubung atau politis dengan memenangkan calon ini menjadi Puteri Indonesia yang diawal penganugerahannya saja sudah menuai kontroversi. Tapi kita diam saja. Kalau kita bilang kita tidak punya hak untuk memilih dan menentukan, salah besar. Sejarah sudah membuktikan rakyat punya suara. Ketika rakyat memberontak terhadap tekanan politik dan ekonomi yang begitu menyesakkan, rakyat yang biasa tertindas dapat kembali melawan segala bentuk penindasan dengan bersatu bersuara dan bertindak. Peristiwa 1998 adalah bukti kekuatan rakyat menggulingkan tirani. Kesatuan kita ketika diinjak-injak teroris dalam Indonesia Unite membuktikan keuletan persatuan Indonesia. Persatuan masyarakat dalam menggunakan baju batik timbul karena ulah kepongahan negera tetangga. Jadi, tak ada alasan kita cuma bisa menggerutu atas kemampuan si puteri atau si pemilihnya. Yang salah kita juga, mengapa tidak bersuara kemarin-kemarin saat ia terpilih?
Keluh kesah mengenai penyesalan atas penampilan atau atas kinerja berbagai badan di negeri ini juga semakin akrab di telinga kita. Beberapa saat yang lalu kita bahkan mendengar pemberitaan mengenai keluhan atau teguran (yang kemudian diperhalus sebagai arahan) presiden kepada menterinya yang dianggap lambat. Malam ini saya mendengar pertanyaan seorang ibu tua yang berusia 80 lebih, menanyakan ada apa dengan presiden kita? Saya tidak bisa menjawab, namun dalam hati saya heran, mengapa keluhan seperti ini dijadikan santapan publik? Yang memilih menteri siapa? Kalau Beliau sendiri, mengapa ia mengeluhkan kepada rakyat atas pilihan sendiri? Demikian juga orang-orang yang tidak puas dengan pemerintahan tertentu. Kalau tidak puas, lalu siapa yang memilihnya di pemilihan umum kemarin? Mengapa mengeluh atas pilihan sendiri?
Kita ini sering membuat malu diri sendiri karena mengeluh atas apa yang sudah kita lakukan sendiri. Mungkin karena kita kurang diajar tanggung jawab, jadi dengan mudah melemparkan dan mengekspos kesalahan yang seharusnya justru jadi tanggung jawab kita. Kalau ada yang tidak benar dengan pilihan kita, ya itu tanggung jawab kita untuk membenahinya. Bukan lalu berteriak kepada masyarakat atas pilihan yang telah kita lakukan sendiri dan menyalahkan pilihan itu. Dengan membawanya ke rana publik, berarti mencoreng diri sendiri.
Hari ini saya belajar bahwa mengeluh atas pilihan yang telah diambil sendiri sama dengan mencoreng dan mempermalukan diri sendiri. Kalau ada yang bilang self correction, sebaiknya self correction itu dilakukan atas dasar tanggung jawab dan bukannya atas dasar penghujatan. Kalau wakil kita di ajang Miss Universe memalukan, baiklah rakyat membuat petisi dan mengambil alih pemilihan ajang tersebut sehingga yang terpilih benar-benar cerminan bangsa Indonesia. Yang bangga atas budaya dan bangsanya namun berwawasan dunia. Tak apa bila dalam kenyataannya ia tak mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris, juara yang terdahulu telah membuktikan bahwa ia tak harus bisa berbahasa asing. Yang penting adalah ia telah benar-benar merepresentasikan bangsanya dan berwawasan dunia. Lalu, kalau anak buah kita tidak becus, bisa saja kan ia dipanggil secara pribadi dan diberi arahan, sementara kita sebagai pimpinan unjuk diri dan mengakui kekurangan dan janji kita untuk membenahinya, bukan buang body dan menyodorkan anak buah kita. Salah kita kenapa memilih orang yang tidak kompeten. Kalaupun itu salah pilih, tanggung jawab kita untuk membenahinya.
Morale of the whole discussion: betapa pentingnya mengambil keputusan yang bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan yang kita ambil. Itulah yang membedakan seorang pemenang dan pecundang.
Labels:
'lawrence tjandra',
keputusan
Thursday, August 26, 2010
26 Agustus 2010 : Happy Ending
Pagi ini tepatnya jam 09:27 seorang tante saya yang berusia 97 tahun meninggal dunia. Paginya ia masih sempat sarapan, menonton tv dan di usia lanjutnya - masih membaca majalah. Suasana rumah sepi karena anggota keluarga lain sudah beraktivitas, tinggal Beliau dan sang perawat yang menjaga. Tiba-tiba Beliau memanggil satu-satu nama orang-orang terdekat sampai ke buyutnya. Mendengar Beliau memanggil-manggil, sang perawat segera menemuinya dan mendapatkan Beliau sudah dalam keadaan tertunduk, dan majalah yang ditangannya terjatuh. Perawat kemudian meminta bantuan tetangga, kebetulan ibu tetangga adalah mantan perawat rumah sakit dan segera memberi oksigen. Ambulans segera datang namun di tengah perjalanan ke rumah sakit Beliau menghembuskan napas terakhir.
Beliau adalah salah satu dari sedikit orang yang "kalau ada apa-apa saya akan meninggalkan semuanya demi Beliau". Seorang yang tenang, penuh welas asih, tegar dan seorang wanita rumah tangga yang luar biasa, Beliau telah ditinggal wafat berpuluh tahun terlebih dahulu oleh suaminya hidup membesarkan anak-anaknya dengan penuh dedikasi. Beliau juga ahli masak yang luar biasa jagonya, bahkan menurut saya terbaik yang pernah saya jumpai, apa lagi soal masakan Makassar, tak ada yang bisa mengalahkan masakan Beliau. Oleh sebab itu, tak heran bahwa saat saya masih tinggal di Cinere, setiap malam saya nebeng makan di rumah Beliau dan menikmati masakan rumah yang sederhana namun luar biasa nikmatnya.
Kepergian Beliau yang tiba-tiba namun sangat "nyaman" dan "lancar", membuat saya teringat akan kepergian almarhum ayah yang juga sangat "dimudahkan" sementara orang khawatir bagaimana hidupnya akan berakhir. Saya jadi berpikir, apakah kepergian seseorang ada hubungannya dengan amal baktinya di dunia ini? Ketika seseorang hidupnya taat dan bersih, maka akhirnya pun menjadi happy ending, sementara orang yang banyak dosa akan mengalami cobaan di akhir hayatnya? Saya tidak tahu karena hal itu adalah misteri Ilahi. Saya yakin bahwa meskipun korelasi yang tercetus di benak tadi adalah sebuah analisa yang masuk akal, kehidupan ini adalah sesuatu yang tak bisa diperhitungkan secara matematis karena semuanya terlaksana sesuai rencana Tuhan. Maka saya tak berani menyimpulkan bahwa kalau kita melakukan a maka hasilnya akan jadi b. Kalau kita berlaku baik dan taat maka hasilnya akan happy ending. Ada banyak contoh orang yang baik berakhir tragis hidupnya.
Sama seperti dalam pekerjaan saya sehari-hari dalam berhubungan dengan media, kita tidak bisa mengontrol "hasil"nya, bagaimana media tersebut menerbitkan artikel atau mengudarakan hasil liputannya sehingga satu-satunya yang bisa saya kontrol adalah persiapan yang sebaik mungkin : memberikan data yang baik, membina hubungan yang baik, menyediakan narasumber yang baik, menyediakan angle berita serta statement yang baik. Semua hal yang saya sebut tadi tidak menjamin apakah berita yang keluar akan seperti yang kita inginkan, semuanya terserah dan terpulangkan kembali pada media yang bersangkutan. Semakin baik persiapan kita, tentu kita bisa lebih berharap hasilnya akan menjadi lebih baik, meskipun sekali lagi tak menjamin apa pun.
Demikian pula hidup ini dengan hubungannya dengan Sang Khalik. Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin, beramal, berbuat baik, penuh keikhlasan dan tulus dalam beribadah namun semuanya tidak menjadi jaminan hasilnya seperti apa, karena yang punya kata akhir adalah Sang Pencipta.
Maka, hari ini saya diingatkan kembali untuk melakukan persiapan sebaik mungkin, karena persiapan yang baik, hasilnya bisa diharapkan akan baik juga, meskipun sekali lagi semuanya tak menjamin, karena penilaian kinerja hidup kita adalah hak prerogatif Tuhan...
Selamat jalan Tante. Rest in Peace in God.
Beliau adalah salah satu dari sedikit orang yang "kalau ada apa-apa saya akan meninggalkan semuanya demi Beliau". Seorang yang tenang, penuh welas asih, tegar dan seorang wanita rumah tangga yang luar biasa, Beliau telah ditinggal wafat berpuluh tahun terlebih dahulu oleh suaminya hidup membesarkan anak-anaknya dengan penuh dedikasi. Beliau juga ahli masak yang luar biasa jagonya, bahkan menurut saya terbaik yang pernah saya jumpai, apa lagi soal masakan Makassar, tak ada yang bisa mengalahkan masakan Beliau. Oleh sebab itu, tak heran bahwa saat saya masih tinggal di Cinere, setiap malam saya nebeng makan di rumah Beliau dan menikmati masakan rumah yang sederhana namun luar biasa nikmatnya.
Kepergian Beliau yang tiba-tiba namun sangat "nyaman" dan "lancar", membuat saya teringat akan kepergian almarhum ayah yang juga sangat "dimudahkan" sementara orang khawatir bagaimana hidupnya akan berakhir. Saya jadi berpikir, apakah kepergian seseorang ada hubungannya dengan amal baktinya di dunia ini? Ketika seseorang hidupnya taat dan bersih, maka akhirnya pun menjadi happy ending, sementara orang yang banyak dosa akan mengalami cobaan di akhir hayatnya? Saya tidak tahu karena hal itu adalah misteri Ilahi. Saya yakin bahwa meskipun korelasi yang tercetus di benak tadi adalah sebuah analisa yang masuk akal, kehidupan ini adalah sesuatu yang tak bisa diperhitungkan secara matematis karena semuanya terlaksana sesuai rencana Tuhan. Maka saya tak berani menyimpulkan bahwa kalau kita melakukan a maka hasilnya akan jadi b. Kalau kita berlaku baik dan taat maka hasilnya akan happy ending. Ada banyak contoh orang yang baik berakhir tragis hidupnya.
Sama seperti dalam pekerjaan saya sehari-hari dalam berhubungan dengan media, kita tidak bisa mengontrol "hasil"nya, bagaimana media tersebut menerbitkan artikel atau mengudarakan hasil liputannya sehingga satu-satunya yang bisa saya kontrol adalah persiapan yang sebaik mungkin : memberikan data yang baik, membina hubungan yang baik, menyediakan narasumber yang baik, menyediakan angle berita serta statement yang baik. Semua hal yang saya sebut tadi tidak menjamin apakah berita yang keluar akan seperti yang kita inginkan, semuanya terserah dan terpulangkan kembali pada media yang bersangkutan. Semakin baik persiapan kita, tentu kita bisa lebih berharap hasilnya akan menjadi lebih baik, meskipun sekali lagi tak menjamin apa pun.
Demikian pula hidup ini dengan hubungannya dengan Sang Khalik. Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin, beramal, berbuat baik, penuh keikhlasan dan tulus dalam beribadah namun semuanya tidak menjadi jaminan hasilnya seperti apa, karena yang punya kata akhir adalah Sang Pencipta.
Maka, hari ini saya diingatkan kembali untuk melakukan persiapan sebaik mungkin, karena persiapan yang baik, hasilnya bisa diharapkan akan baik juga, meskipun sekali lagi semuanya tak menjamin, karena penilaian kinerja hidup kita adalah hak prerogatif Tuhan...
Selamat jalan Tante. Rest in Peace in God.
Wednesday, August 25, 2010
25 Agustus 2010 : Salah Teropong
Jadwal saya pagi ini adalah mengikuti presentasi sebuah lembaga riset mengenai posisi klien dibanding kompetitornya di pasar nusantara. Riset yang dilakukan dengan jumlah responden 260an itu menggambarkan dengan jelas bahwa klien saya sangat jauh ketinggalan dan hanya mengenyam bagian kue pasar yang sangat kecil, bahkan terlalu kecil untuk ukuran perusahaan yang menyanggahnya. Riset ini diprakarsai oleh bagian pemasaran perusahaan klien, dan saya duduk sebagai pendengar tamu bersama dengan vice president perusahaan klien. Di akhir presentasinya saya berbisik pada wakil pemilik perusahaan itu, "Pak, kalau gambarannya seperti ini, apakah berarti bahwa selama ini perusahaan ini salah fokus?" Beliau dengan tenang balik berbisik, "Ya kalau dilihatnya seperti ini, namun sebetulkan pangsa pasar kami bukanlah pangsa pasar umum, pangsa pasar kami adalah pasar yang khusus dengan kriteria yang khusus pula..." Saya lalu menyimpulkan, "ooo... kalau begitu ini sih salah mengarahkan risetnya dong ya pak..." Beliau dengan tenang menganggung dan tersenyum, "ya."
Memang, yang memberi arahan kepada lembaga riset tersebut adalah direktur pemasaran dan manajer pemasaran yang baru seumur jagung di perusahaan ini. Yang menjadi pertanyaan saya adalah : mengapa mereka sebelum bicara dengan pihak luar, tidak mempelajari dahulu keadaan perusahaan ini dari narasumber di dalam, sehingga tidak salah arahan dan salah membidik? Pantas saja brief yang diberikan kepada saya selama ini selalu terdengar "berkabut", tidak jelas. Apakah mereka pikir mereka begitu menguasai ilmu pemasaran sehingga tidak memerlukan lagi keterangan dari "dalam"? Ataukah riset ini mau dijadikan ajang pembuktian bahwa mereka mampu? Kalau itu yang ada di benak mereka, hasilnya sungguh gagal, karena akibat ke "sok tahuan" mereka, paparan riset yang dibuat dengan biaya mahal tersebut menjadi salah teropong. Kalau saya jadi pimpinan, saya akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pemborosan yang dilakukannya, karena riset mahal tersebut "tidak bisa dipakai". Saya kesal ketika salah seorang manajernya mengatakan dengan entengnya, "O kalau begitu kita brief ulang saja, supaya mereka mengulang risetnya." Haloooo, yang salah itu bukan lembaga risetnya, tapi kalian..... Pak Wakil Presiden Direktur sama kesalnya dengan saya dan mengatakan, "Mereka ya akan minta dibayar lagi pastinya."
Pulang dari sesi tersebut, saya mendapat berbagai oleh-oleh pelajaran :
1. Kalau saya baru di area tertentu, jangan sok tahu, saya harus bertanya pada mereka yang sudah lama "tinggal" di sana, alias "penduduk asli". Pepatah "malu bertanya sesat di jalan" yang bisa diplesetkan juga jadi "terlalu angkuh untuk bertanya malah sesat di jalan" berlaku pas di sini.
2. Hati-hati meneropong kalau tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas, hasilnya bisa salah meneropong, dan jadi salah mengambil kesimpulan, sehingga ujung-ujungnya salah bersikap dan mengambil langkah. Jangan dipikir meneropong bisa mendapat pengelihatan yang lebih jelas tentang sesuatu. Kalau objeknya gajah dan kita meneropong belalainya saja, bisa salah kesimpulan bahwa gajah adalah binatang yang
berbentuk seperti pipa panjang, kalau meneropong hanya sisi perutnya saja, bisa-bisa kita menyimpulkan bahwa gajah itu binatang yang pipih luas. Perlu "wisdom" dan visi yang jelas agar kita bisa meneropong gajah dari kejauhan tertentu agar terlihat bentuknya. Hal ini rasanya berlaku untuk semua aspek kehidupan : jangan asal meneropong.
Akan halnya ke dua pejabat pemasaran di perusahaan itu, saya masih belum bisa meramalkan apa yang terjadi selanjutnya. Saya takut salah meneropong, jadi ya ikuti saja kisah selanjutnya nanti...
Memang, yang memberi arahan kepada lembaga riset tersebut adalah direktur pemasaran dan manajer pemasaran yang baru seumur jagung di perusahaan ini. Yang menjadi pertanyaan saya adalah : mengapa mereka sebelum bicara dengan pihak luar, tidak mempelajari dahulu keadaan perusahaan ini dari narasumber di dalam, sehingga tidak salah arahan dan salah membidik? Pantas saja brief yang diberikan kepada saya selama ini selalu terdengar "berkabut", tidak jelas. Apakah mereka pikir mereka begitu menguasai ilmu pemasaran sehingga tidak memerlukan lagi keterangan dari "dalam"? Ataukah riset ini mau dijadikan ajang pembuktian bahwa mereka mampu? Kalau itu yang ada di benak mereka, hasilnya sungguh gagal, karena akibat ke "sok tahuan" mereka, paparan riset yang dibuat dengan biaya mahal tersebut menjadi salah teropong. Kalau saya jadi pimpinan, saya akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pemborosan yang dilakukannya, karena riset mahal tersebut "tidak bisa dipakai". Saya kesal ketika salah seorang manajernya mengatakan dengan entengnya, "O kalau begitu kita brief ulang saja, supaya mereka mengulang risetnya." Haloooo, yang salah itu bukan lembaga risetnya, tapi kalian..... Pak Wakil Presiden Direktur sama kesalnya dengan saya dan mengatakan, "Mereka ya akan minta dibayar lagi pastinya."
Pulang dari sesi tersebut, saya mendapat berbagai oleh-oleh pelajaran :
1. Kalau saya baru di area tertentu, jangan sok tahu, saya harus bertanya pada mereka yang sudah lama "tinggal" di sana, alias "penduduk asli". Pepatah "malu bertanya sesat di jalan" yang bisa diplesetkan juga jadi "terlalu angkuh untuk bertanya malah sesat di jalan" berlaku pas di sini.
2. Hati-hati meneropong kalau tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas, hasilnya bisa salah meneropong, dan jadi salah mengambil kesimpulan, sehingga ujung-ujungnya salah bersikap dan mengambil langkah. Jangan dipikir meneropong bisa mendapat pengelihatan yang lebih jelas tentang sesuatu. Kalau objeknya gajah dan kita meneropong belalainya saja, bisa salah kesimpulan bahwa gajah adalah binatang yang
berbentuk seperti pipa panjang, kalau meneropong hanya sisi perutnya saja, bisa-bisa kita menyimpulkan bahwa gajah itu binatang yang pipih luas. Perlu "wisdom" dan visi yang jelas agar kita bisa meneropong gajah dari kejauhan tertentu agar terlihat bentuknya. Hal ini rasanya berlaku untuk semua aspek kehidupan : jangan asal meneropong.
Akan halnya ke dua pejabat pemasaran di perusahaan itu, saya masih belum bisa meramalkan apa yang terjadi selanjutnya. Saya takut salah meneropong, jadi ya ikuti saja kisah selanjutnya nanti...
Labels:
'lawrence tjandra',
meneropong,
riset
Tuesday, August 24, 2010
24 Agustus 2010 : Gemilang
Ketika sedang menunggu proses laminating di gerai multiplus, saya sempat melirik buku yang akan dijadikan hadiah teman saya kepada atasannya yang segera pindah ke kantor baru. Bukunya berisi berbagai renungan tentang kualitas pribadi di bidang pekerjaan. Salah satu kutipan yang sampai saat ini masih menempel di otak adalah :
"It's not so important who starts the game but who finishes it."
Keterangan panjang lebar di bawahnya tak terbaca karena begitu cepatnya waktu, sampai-sampai siapa yang mengatakan kalimat ini pun tak terekam di otak. Kepala saya lebih sibuk mencernanya. Iya juga ya, orang suka berbangga-bangga saya lho yang menjadi penemu ini dan itu, saya yang memulai ini dan itu, tapi sebetulnya benar juga kata kutipan itu, yang penting ya yang memenangkan pertandingan, bukan yang memulainya dengan lebih cepat. Sebagai perintis, kita sering kesal karena pesaing kita ternyata cepat menyontek program kita dan dengan polesan sedikit di kanan kiri, program mereka terlihat lebih kinclong dari program kita, dan akhirnya kita ketinggalan dalam lomba lari bisnis. Marah-marah, tidak ada gunanya, dan itulah bisnis.
Kita juga suka mencetak yang terbanyak, terbesar, ter ter ter, kemudian mencatatkannya di rekor nasional dan dunia. Beberapa klien saya juga terkadang silau juga dengan penghargaan-penghargaan seperti itu, namun apa untungnya masuk MURI menjadi yang ter....? Tidak ada, selain bangga-banggaan sesaat. Konsumen kita juga tidak merasakan manfaatnya produknya dapat sertifikat MURI. Pagi ini, calon klien saya juga sangat terobsesi mengadakan acara yang mengundang puluhan ribu orang dengan tujuan mendapatkan publisitas. Saya katakan, tidak semua acara yang dihadiri orang berjumlah besar menarik perhatian media. Saya mencontohkan acara senam yang diadakan sebuah BUMN di akhir Juli kemarin yang menghadirkan 25.000 orang, tapi tak satu pun masyarakat umum mengetahuinya, sedangkan acara kami yang dihadiri 10.000 orang di Bunderan HI mendapat liputan sangat luas. Padahal kalau dipikir lagi, sebelum dan sesudah kami, kegiatan di Bunderan HI sudah ada, namun tidak mencuri perhatian seperti acara kami. Kuncinya? kejelian, kreativitas dan kerja keras. Kerja keras untuk bisa tampil gemilang.
Kalimat singkat itu memberi pelajaran buat saya, tidak penting siapa menemukan apa atau menciptakan apa. Yang terpenting adalah bagaimana keunikan, keuletan, kreativitas dan usaha kita bisa membawa kita mencapai finish yang dikenang orang, yang dikenang massa. Itulah yang masuk di benak orang. Orang yang hebat di awal namun loyo di akhir, akan segera terlupakan dibanding orang yang kalah di awal namun mencapai finish dengan gemilang berkat perjuangan dan upayanya.
Hari ini saya dibukakan mata kiat memenangkan pertandingan hidup dengan gemilang dan penuh makna ...
"It's not so important who starts the game but who finishes it."
Keterangan panjang lebar di bawahnya tak terbaca karena begitu cepatnya waktu, sampai-sampai siapa yang mengatakan kalimat ini pun tak terekam di otak. Kepala saya lebih sibuk mencernanya. Iya juga ya, orang suka berbangga-bangga saya lho yang menjadi penemu ini dan itu, saya yang memulai ini dan itu, tapi sebetulnya benar juga kata kutipan itu, yang penting ya yang memenangkan pertandingan, bukan yang memulainya dengan lebih cepat. Sebagai perintis, kita sering kesal karena pesaing kita ternyata cepat menyontek program kita dan dengan polesan sedikit di kanan kiri, program mereka terlihat lebih kinclong dari program kita, dan akhirnya kita ketinggalan dalam lomba lari bisnis. Marah-marah, tidak ada gunanya, dan itulah bisnis.
Kita juga suka mencetak yang terbanyak, terbesar, ter ter ter, kemudian mencatatkannya di rekor nasional dan dunia. Beberapa klien saya juga terkadang silau juga dengan penghargaan-penghargaan seperti itu, namun apa untungnya masuk MURI menjadi yang ter....? Tidak ada, selain bangga-banggaan sesaat. Konsumen kita juga tidak merasakan manfaatnya produknya dapat sertifikat MURI. Pagi ini, calon klien saya juga sangat terobsesi mengadakan acara yang mengundang puluhan ribu orang dengan tujuan mendapatkan publisitas. Saya katakan, tidak semua acara yang dihadiri orang berjumlah besar menarik perhatian media. Saya mencontohkan acara senam yang diadakan sebuah BUMN di akhir Juli kemarin yang menghadirkan 25.000 orang, tapi tak satu pun masyarakat umum mengetahuinya, sedangkan acara kami yang dihadiri 10.000 orang di Bunderan HI mendapat liputan sangat luas. Padahal kalau dipikir lagi, sebelum dan sesudah kami, kegiatan di Bunderan HI sudah ada, namun tidak mencuri perhatian seperti acara kami. Kuncinya? kejelian, kreativitas dan kerja keras. Kerja keras untuk bisa tampil gemilang.
Kalimat singkat itu memberi pelajaran buat saya, tidak penting siapa menemukan apa atau menciptakan apa. Yang terpenting adalah bagaimana keunikan, keuletan, kreativitas dan usaha kita bisa membawa kita mencapai finish yang dikenang orang, yang dikenang massa. Itulah yang masuk di benak orang. Orang yang hebat di awal namun loyo di akhir, akan segera terlupakan dibanding orang yang kalah di awal namun mencapai finish dengan gemilang berkat perjuangan dan upayanya.
Hari ini saya dibukakan mata kiat memenangkan pertandingan hidup dengan gemilang dan penuh makna ...
Labels:
'lawrence tjandra',
gemilang
Monday, August 23, 2010
23 Agustus 2010 : Kecanduan Cinta
Oprah Winfrey malam ini mewawancarai Rielle Hunter, selingkuhan politisi kawakan Amerika Serikat John Edwards. Saya tidak mengikuti dari awal, namun sisa wawancara Oprah yang dijawab dengan sangat gamblang dan terus terang oleh Rielle menyisakan tanda tanya besar di benak saya : Apa sih yang ada di benaknya?
Yang jelas, tidak tampak tanda-tanda Rielle merasa bersalah. Ia mencintai John yang jelas-jelas ia tahu sudah menikah dan memiliki anak, dan menurutnya John juga mencintainya. Ketika ditanya apakah ia menyakiti orang lain, ia justru mengatakan bahwa orang lain tidak tersakiti olehnya karena mereka tidak mengenalnya. Tanggapan orang terhadap masalah perselingkuhannya adalah ungkapan rasa kesal terhadap orang tua, sahabat, kerabat dan bahkan pasangannya sendiri yang telah melakukan perselingkuhan. Ia ditanya lagi : apakah ia merasa menyakiti Elizabeth, isteri John Edwards? Ia menjawab, sebaiknya ditanyakan Elizabeth apakah ia tersakiti oleh Rielle.
Buat saya jawaban yang terakhir merupakan statement yang sangat aneh. Dari wawancara yang terpotong itu saya mengambil kesimpulan seolah Rielle hidup di dunianya sendiri, dengan kaca matanya sendiri. Yang penting John mencintainya. Meskipun John pernah menyangkal kenal dengan Rielle dan anak hasil hubungan mereka, Rielle menganggap John hanya korban kebingungannya sendiri dalam upaya memperbaiki situasi yang runyam akibat terbongkalnya skandal seks mereka. Selebihnya, ia tetap cinta John, dan yang penting John tetap cinta dia. Ia sama sekali tidak mempertimbangkan, atau memikirkan orang lain yang selama bertahun-tahun sebelum ia kenal John sudah berada di sisi lelaki yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden negara adidaya itu.
Lama saya mencoba mencerna jalan pikiran Rielle. Saya menangkap dari ekspresinya, Oprah juga melakukan hal yang sama, mencoba mengerti jalan pikiran wanita pirang itu. Saya lalu bertanya, beginikah jalan pikiran semua orang yang melakukan selingkuh? atau lebih tepatnya lagi orang yang merebut hak orang lain? Bagaimana jalan pikiran John Edwards? Apakah sama dengan jalan pikiran Rielle? Mau sama atau tidak, orang yang berselingkuh punya satu kesamaan : mereka sama-sama egois dan hidup dalam tempurung kaca. Mereka sudah tidak tahu lagi dampak kelakuan mereka terhadap orang lain, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Mereka tak lagi sempat berpikir soal dampaknya kepada karir dan masa depan. Semuanya terselimuti nafsu yang secara semu mengeluarkan aroma nikmat dan indah. Saya juga merasa, bahwa bahkan ketika kaca itu pecah berkeping dan semua yang ada di sekitarnya terluka, sang pelaku - terutama yang merebut pasangan orang - masih saja terbius otaknya. Maka, kita tidak bisa bertanya apakah merasa bersalah atau menyakiti : jauh di lubuk hati jawabnya seakan pasti tidak.
Saya juga mencerna, kalau misalnya si gadis dibohongi mengenai status si laki, ya sudahlah, namun ketika ia tahu dan masih saja merongrong kehidupan rumah tangga pasangan selingkuhannya : apa sih yang ada di benaknya? Saya mencoba menelaah bahwa sudah terjadi tingkat obsesi yang tinggi sehingga makin merebut makin puas, dan makin terenggut makin terobsesi. Orang-orang seperti ini menjadi semakin liar dan buas ketika kisah selingkuhnya terkuak. Orang yang terluka seperti ini bisa menjadi psikopat yang luar biasa tak punya perasaan.
Dalam kenyataannya psikopat seperti ini tidak terbatas pada orang-orang seperti di atas. Hal ini ternyata juga terjadi kepada orang-orang yang saking jatuh cinta dan ingin memiliki orang lain, ia menjadi terobsesi dan semakin buas dan liar untuk memiliki orang yang tidak mencintai atau menghendakinya. Hebatnya dengan kemajuan teknologi komunikasi, orang-orang seperti ini seperti mendapat lahan untuk bebas beroperasi tanpa bisa ditahan atau dihentikan. Ia masuk ke dalam sulur-sulur yang paling pribadi dari orang yang ingin dikuasainya seperti roh setan yang menjelajah dan menjajah, membuat orang lain menjadi tak berkuasa dan menjadi korban ketidakberdayaan.
Pertanyaannya: harus diapakan orang-orang seperti ini? Apakah harus berakhir seperti di film-film dimana karakter semacam ini dimatikan di ujung cerita? Mereka seperti kecanduan cinta, dan seperti orang yang kecanduan narkoba, ujung-ujungnya mereka merusak dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Terapi apakah yang bisa dilakukan untuk mengatasi orang seperti ini? Jangan pernah terpikir ini hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Mereka-mereka ini ada dan berkeliaran di sekitar kita, bahkan di tempat-tempat yang kita anggap paling aman.
Saya sendiri tidak punya jawaban atas pertanyaan di atas. Untuk saat ini, saya cuma punya satu kesimpulan : kalau begitu, hidup saya mulai sekarang mesti yang benar dan di jalan yang benar : hidup atas hitam dan putih, dan tidak abu-abu, karena interpretasi abu-abu bisa seluas nuansanya. Lagi pula abu-abu itu bukan hitam dan bukan putih.
Hari ini saya diingatkan untuk memagari hidup dengan hidup di jalan yang benar, yang putih dan terang. Sebagai penutup, Gill Weber, teman saya dari Perth mengirimkan kata-kata ini :
to be nobody but yourself, in a world which is doing its best day and night to make you feel like everybody else, means to fight the hardest battle any human being can fight....and never stop fighting. e.e.cummings
Yang jelas, tidak tampak tanda-tanda Rielle merasa bersalah. Ia mencintai John yang jelas-jelas ia tahu sudah menikah dan memiliki anak, dan menurutnya John juga mencintainya. Ketika ditanya apakah ia menyakiti orang lain, ia justru mengatakan bahwa orang lain tidak tersakiti olehnya karena mereka tidak mengenalnya. Tanggapan orang terhadap masalah perselingkuhannya adalah ungkapan rasa kesal terhadap orang tua, sahabat, kerabat dan bahkan pasangannya sendiri yang telah melakukan perselingkuhan. Ia ditanya lagi : apakah ia merasa menyakiti Elizabeth, isteri John Edwards? Ia menjawab, sebaiknya ditanyakan Elizabeth apakah ia tersakiti oleh Rielle.
Buat saya jawaban yang terakhir merupakan statement yang sangat aneh. Dari wawancara yang terpotong itu saya mengambil kesimpulan seolah Rielle hidup di dunianya sendiri, dengan kaca matanya sendiri. Yang penting John mencintainya. Meskipun John pernah menyangkal kenal dengan Rielle dan anak hasil hubungan mereka, Rielle menganggap John hanya korban kebingungannya sendiri dalam upaya memperbaiki situasi yang runyam akibat terbongkalnya skandal seks mereka. Selebihnya, ia tetap cinta John, dan yang penting John tetap cinta dia. Ia sama sekali tidak mempertimbangkan, atau memikirkan orang lain yang selama bertahun-tahun sebelum ia kenal John sudah berada di sisi lelaki yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden negara adidaya itu.
Lama saya mencoba mencerna jalan pikiran Rielle. Saya menangkap dari ekspresinya, Oprah juga melakukan hal yang sama, mencoba mengerti jalan pikiran wanita pirang itu. Saya lalu bertanya, beginikah jalan pikiran semua orang yang melakukan selingkuh? atau lebih tepatnya lagi orang yang merebut hak orang lain? Bagaimana jalan pikiran John Edwards? Apakah sama dengan jalan pikiran Rielle? Mau sama atau tidak, orang yang berselingkuh punya satu kesamaan : mereka sama-sama egois dan hidup dalam tempurung kaca. Mereka sudah tidak tahu lagi dampak kelakuan mereka terhadap orang lain, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Mereka tak lagi sempat berpikir soal dampaknya kepada karir dan masa depan. Semuanya terselimuti nafsu yang secara semu mengeluarkan aroma nikmat dan indah. Saya juga merasa, bahwa bahkan ketika kaca itu pecah berkeping dan semua yang ada di sekitarnya terluka, sang pelaku - terutama yang merebut pasangan orang - masih saja terbius otaknya. Maka, kita tidak bisa bertanya apakah merasa bersalah atau menyakiti : jauh di lubuk hati jawabnya seakan pasti tidak.
Saya juga mencerna, kalau misalnya si gadis dibohongi mengenai status si laki, ya sudahlah, namun ketika ia tahu dan masih saja merongrong kehidupan rumah tangga pasangan selingkuhannya : apa sih yang ada di benaknya? Saya mencoba menelaah bahwa sudah terjadi tingkat obsesi yang tinggi sehingga makin merebut makin puas, dan makin terenggut makin terobsesi. Orang-orang seperti ini menjadi semakin liar dan buas ketika kisah selingkuhnya terkuak. Orang yang terluka seperti ini bisa menjadi psikopat yang luar biasa tak punya perasaan.
Dalam kenyataannya psikopat seperti ini tidak terbatas pada orang-orang seperti di atas. Hal ini ternyata juga terjadi kepada orang-orang yang saking jatuh cinta dan ingin memiliki orang lain, ia menjadi terobsesi dan semakin buas dan liar untuk memiliki orang yang tidak mencintai atau menghendakinya. Hebatnya dengan kemajuan teknologi komunikasi, orang-orang seperti ini seperti mendapat lahan untuk bebas beroperasi tanpa bisa ditahan atau dihentikan. Ia masuk ke dalam sulur-sulur yang paling pribadi dari orang yang ingin dikuasainya seperti roh setan yang menjelajah dan menjajah, membuat orang lain menjadi tak berkuasa dan menjadi korban ketidakberdayaan.
Pertanyaannya: harus diapakan orang-orang seperti ini? Apakah harus berakhir seperti di film-film dimana karakter semacam ini dimatikan di ujung cerita? Mereka seperti kecanduan cinta, dan seperti orang yang kecanduan narkoba, ujung-ujungnya mereka merusak dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Terapi apakah yang bisa dilakukan untuk mengatasi orang seperti ini? Jangan pernah terpikir ini hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Mereka-mereka ini ada dan berkeliaran di sekitar kita, bahkan di tempat-tempat yang kita anggap paling aman.
Saya sendiri tidak punya jawaban atas pertanyaan di atas. Untuk saat ini, saya cuma punya satu kesimpulan : kalau begitu, hidup saya mulai sekarang mesti yang benar dan di jalan yang benar : hidup atas hitam dan putih, dan tidak abu-abu, karena interpretasi abu-abu bisa seluas nuansanya. Lagi pula abu-abu itu bukan hitam dan bukan putih.
Hari ini saya diingatkan untuk memagari hidup dengan hidup di jalan yang benar, yang putih dan terang. Sebagai penutup, Gill Weber, teman saya dari Perth mengirimkan kata-kata ini :
to be nobody but yourself, in a world which is doing its best day and night to make you feel like everybody else, means to fight the hardest battle any human being can fight....and never stop fighting. e.e.cummings
Sunday, August 22, 2010
22 Agustus 2010 : Rencana Tuhan
Saya menerima sebuah sms lelucon yang membuat saya tertawa terbahak-bahak:
Ibu Joko membuka pintu rumahnya yang diketok seorang tamu.
Seorang pemuda berdasi berdiri di depannya, tiba2 langsung menumpahkan sampah dan debu di ruang tamu bu Joko.
Sebelum si ibu marah, sang pemuda langsung mengoceh dgn penuh percaya diri : "Perkenalkan saya Budi dari electrolux mau mendemonstrasikan alat penghisap debu dan sampah teknologi terbaru kami. Bila saya tidak bisa membersihkan sampah dan debu ini dlm waktu kurang 10 menit, saya akan jilat debunya dan makan sampahnya!!!!"
Bu Joko cuma senyum manis: "Yo wes, mulai dima'em aja sekarang dek Budi. PLN nya mati dari pagi, baru nyala besok siang" katanya sambil ngeluyur masuk ke dapur...
Saya jadi membayangkan Budi menelan ludahnya pucat pasi dan langsung mendapat pelajaran bahwa jadi orang itu jangan sok PD. Segala peralatan yang canggih yang membekali kita dengan penuh kepercayaan diri bukan jaminan kita dapat melaksanakan tugas dengan baik. Masih banyak faktor yang dapat membuat kita gagal. Siapa sangka sedang ada pemadaman listrik bergilir? Demikian pula begitu banyak faktor yang dapat menggagalkan rencana kita. Saya juga pernah mengalami seperti Budi, namun dalam posisi yang berbeda. Kami sudah mempersiapkan presentasi dengan sebaik-baiknya, menyiapkan laptop, mencobanya di kantor, namun saat berada di meja rapat, laptopnya sama sekali ngadat, sampai saya harus presentasi luar kepala mengandalkan proposal cetak yang tentu saja memberi efek berbeda.
Kadang-kadang kejadian di luar dugaan itu tidak masuk akal buat kita, namun kalau dipikir mengenai rencana Tuhan, semuanya tentu jadi masuk akal. Dari kejadian-kejadian yang pernah saya alami, saya mengambil kesimpulan bahwa kesialan belum tentu kegagalan, melainkan justru rencana Tuhanlah yang bekerja, mengalihkan kegagalan di satu tempat dan menggantikannya dengan yang lain yang memiliki misi yang diinginkan Tuhan bagi kita.
Kadang-kadang rencana Tuhan bekerja di luar kehendak kita, namun tak jarang pula membimbing dan menunjukkan betapa Tuhan mengerti akan kebutuhan kita. Kemarin, teman saya Samuel Mulia bercerita pernah selepas puasa seharian, ia ber-angan membuat pasta untuk makan malamnya. Belum sampai 5 menit, teman kami Cicilia King menelponnya sedang dalam perjalanan menjemputnya untuk mengajak makan di restoran Itali. Tadi sebelum misa sore, melihat sekretariat gereja terbuka, saya mengajak seorang kerabat muda mampir menanyakan bagaimana caranya mengikuti pelajaran agama. Ia sendiri memiliki latar belakang keluarga Buddha namun kemudian mendalami agama Kristen dan akhirnya tertarik untuk menjadi Katolik. Petugas gereja tampak asal-asalan dan setengah hati memberi penjelasan dan menyerahkan seberkas formulir untuk diisi. Karena tidak mendapat penjelasan yang memuaskan, kami keluar untuk menuju ruang gereja. Saya lalu meminta kerabat saya menunggu saya yang ingin buang air kecil. Sesuai dari kamar kecil, saya menemui kerabat saya sedang membaca formulir tersebut dengan penuh tanya, dan saya pun tidak bisa menjawab dengan baik karena tidak tahu siapa Ketua Lingkungan kami karena meskipun sudah tinggal 12 tahun di Karawaci, saya belum mendaftarkan diri sebagai warga gereja. Satu-satunya orang gereja yang saya kenal adalah Pak Wong, dan kebetulan Beliau adalah Ketua Wilayah.
Saat sedang kebingungan dan memutuskan untuk menunda rencana mengisi formulir, tiba-tiba Pak Wong muncul dari ruang pastoral. Kami mengobrol dan menanyakan mengenai prosedur katekisasi (belajar agama) dan Pak Wong dengan mudahnya mengatakan, "Nanti saya suruh Ketua Lingkungan kamu ke rumah kamu untuk menaruh persyaratan dan formulir, sekalian kamu urus KK kamu ya, dia masukkan saja di KK kamu." Beliau kemudian melenggang pergi karena harus tugas menjadi prodiakon sore tadi.
Kami pun ditinggalkan dengan keadaan terkagum-kagum oleh rencana Tuhan. Kalau saja saya tidak melihat pintu sekretariat dibuka, saya tidak punya inisiatif untuk masuk. Seakan ada kekuatan yang membisiki saya untuk masuk dan bertanya, kemudian belok ke kamar kecil. Kalau saya langsung saja ke ruang misa, tentu saya tidak punya kesempatan untuk bertemu dan mengobrol dengan Pak Wong. Kerabat saya langsung bilang bahwa ini adalah rencana Tuhan yang memudahkan jalan. Saya melihatnya dan mendapat pelajaran bahwa dalam hidup ini bukan kita yang memilih, namun Tuhanlah yang memilih. Sekuat tenaga kita ingin namun bila Tuhan tak berkenan, tak akan terjadilah keinginan kita. Namun ketika Tuhan memilih, seberat apa pun jalan yang harus ditempuh, pasti dimudahkan.
Petang ini saya ditunjukkan kembali tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Bila kita berserah, Tuhan akan mengatur setiap langkah kita sesuai rencanaNya, dan karena sudah berserah kita pun mengerti segala rencana Tuhan sehingga mengikuti saya diajak berbelok kemana, tanpa mengeluh. Kalau kita mengerjakan sesuatu karena mengerti, tentu kita tidak akan mengeluh. Hanya saja kali ini kita mengerti bahwa semua ini adalah rencana Ilahi, meskipun tidak mengerti akan dibawa manakah kita. Itulah esensi keimanan. Maka,hari ini saya belajar memahami arti iman : percaya dan pasrah, berserah dengan tulus dan ikhlas...
Ibu Joko membuka pintu rumahnya yang diketok seorang tamu.
Seorang pemuda berdasi berdiri di depannya, tiba2 langsung menumpahkan sampah dan debu di ruang tamu bu Joko.
Sebelum si ibu marah, sang pemuda langsung mengoceh dgn penuh percaya diri : "Perkenalkan saya Budi dari electrolux mau mendemonstrasikan alat penghisap debu dan sampah teknologi terbaru kami. Bila saya tidak bisa membersihkan sampah dan debu ini dlm waktu kurang 10 menit, saya akan jilat debunya dan makan sampahnya!!!!"
Bu Joko cuma senyum manis: "Yo wes, mulai dima'em aja sekarang dek Budi. PLN nya mati dari pagi, baru nyala besok siang" katanya sambil ngeluyur masuk ke dapur...
Saya jadi membayangkan Budi menelan ludahnya pucat pasi dan langsung mendapat pelajaran bahwa jadi orang itu jangan sok PD. Segala peralatan yang canggih yang membekali kita dengan penuh kepercayaan diri bukan jaminan kita dapat melaksanakan tugas dengan baik. Masih banyak faktor yang dapat membuat kita gagal. Siapa sangka sedang ada pemadaman listrik bergilir? Demikian pula begitu banyak faktor yang dapat menggagalkan rencana kita. Saya juga pernah mengalami seperti Budi, namun dalam posisi yang berbeda. Kami sudah mempersiapkan presentasi dengan sebaik-baiknya, menyiapkan laptop, mencobanya di kantor, namun saat berada di meja rapat, laptopnya sama sekali ngadat, sampai saya harus presentasi luar kepala mengandalkan proposal cetak yang tentu saja memberi efek berbeda.
Kadang-kadang kejadian di luar dugaan itu tidak masuk akal buat kita, namun kalau dipikir mengenai rencana Tuhan, semuanya tentu jadi masuk akal. Dari kejadian-kejadian yang pernah saya alami, saya mengambil kesimpulan bahwa kesialan belum tentu kegagalan, melainkan justru rencana Tuhanlah yang bekerja, mengalihkan kegagalan di satu tempat dan menggantikannya dengan yang lain yang memiliki misi yang diinginkan Tuhan bagi kita.
Kadang-kadang rencana Tuhan bekerja di luar kehendak kita, namun tak jarang pula membimbing dan menunjukkan betapa Tuhan mengerti akan kebutuhan kita. Kemarin, teman saya Samuel Mulia bercerita pernah selepas puasa seharian, ia ber-angan membuat pasta untuk makan malamnya. Belum sampai 5 menit, teman kami Cicilia King menelponnya sedang dalam perjalanan menjemputnya untuk mengajak makan di restoran Itali. Tadi sebelum misa sore, melihat sekretariat gereja terbuka, saya mengajak seorang kerabat muda mampir menanyakan bagaimana caranya mengikuti pelajaran agama. Ia sendiri memiliki latar belakang keluarga Buddha namun kemudian mendalami agama Kristen dan akhirnya tertarik untuk menjadi Katolik. Petugas gereja tampak asal-asalan dan setengah hati memberi penjelasan dan menyerahkan seberkas formulir untuk diisi. Karena tidak mendapat penjelasan yang memuaskan, kami keluar untuk menuju ruang gereja. Saya lalu meminta kerabat saya menunggu saya yang ingin buang air kecil. Sesuai dari kamar kecil, saya menemui kerabat saya sedang membaca formulir tersebut dengan penuh tanya, dan saya pun tidak bisa menjawab dengan baik karena tidak tahu siapa Ketua Lingkungan kami karena meskipun sudah tinggal 12 tahun di Karawaci, saya belum mendaftarkan diri sebagai warga gereja. Satu-satunya orang gereja yang saya kenal adalah Pak Wong, dan kebetulan Beliau adalah Ketua Wilayah.
Saat sedang kebingungan dan memutuskan untuk menunda rencana mengisi formulir, tiba-tiba Pak Wong muncul dari ruang pastoral. Kami mengobrol dan menanyakan mengenai prosedur katekisasi (belajar agama) dan Pak Wong dengan mudahnya mengatakan, "Nanti saya suruh Ketua Lingkungan kamu ke rumah kamu untuk menaruh persyaratan dan formulir, sekalian kamu urus KK kamu ya, dia masukkan saja di KK kamu." Beliau kemudian melenggang pergi karena harus tugas menjadi prodiakon sore tadi.
Kami pun ditinggalkan dengan keadaan terkagum-kagum oleh rencana Tuhan. Kalau saja saya tidak melihat pintu sekretariat dibuka, saya tidak punya inisiatif untuk masuk. Seakan ada kekuatan yang membisiki saya untuk masuk dan bertanya, kemudian belok ke kamar kecil. Kalau saya langsung saja ke ruang misa, tentu saya tidak punya kesempatan untuk bertemu dan mengobrol dengan Pak Wong. Kerabat saya langsung bilang bahwa ini adalah rencana Tuhan yang memudahkan jalan. Saya melihatnya dan mendapat pelajaran bahwa dalam hidup ini bukan kita yang memilih, namun Tuhanlah yang memilih. Sekuat tenaga kita ingin namun bila Tuhan tak berkenan, tak akan terjadilah keinginan kita. Namun ketika Tuhan memilih, seberat apa pun jalan yang harus ditempuh, pasti dimudahkan.
Petang ini saya ditunjukkan kembali tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Bila kita berserah, Tuhan akan mengatur setiap langkah kita sesuai rencanaNya, dan karena sudah berserah kita pun mengerti segala rencana Tuhan sehingga mengikuti saya diajak berbelok kemana, tanpa mengeluh. Kalau kita mengerjakan sesuatu karena mengerti, tentu kita tidak akan mengeluh. Hanya saja kali ini kita mengerti bahwa semua ini adalah rencana Ilahi, meskipun tidak mengerti akan dibawa manakah kita. Itulah esensi keimanan. Maka,hari ini saya belajar memahami arti iman : percaya dan pasrah, berserah dengan tulus dan ikhlas...
Labels:
'lawrence tjandra',
'rencana Tuhan',
iman
Saturday, August 21, 2010
21 Agustus : Mitra Kerja Tuhan
Dalam sesi sharing hari ini di persekutuan doa saya, Samuel Mulia mengangkat tema bekerja untuk Tuhan. Sebetulnya bukan bekerja untuk, karena di 1 Korintus3:9 dikatakan bahwa Kami adalah kawan sekerja Allah, karena itu lebih tepat dikatakan bahwa bekerja bersama Tuhan. Karena mitra, maka kita seharusnya membawa serta Allah kemana kita bekerja. Bahkan sebetulnya hasil yang kita peroleh dari pekerjaan kita itu bukan lah karena kita sendiri. Kita boleh pandai, kita boleh cermat berhitung namun apa yang terjadi diperjalanan, itu adalah seluruhnya kuasa Ilahi. Ayat 1 Korintus 3: 6-7 mengatakan : Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan.
Bila kita telah memahami bahwa bukan kita yang terpenting dalam pekerjaan kita, melainkah Allah dengan segala rencanaNya, maka layaklah bila dalam bekerja, kita selalu mendahulukan Allah, seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita yang beragama Islam, dimana di setiap langkahnya mereka selalu mengatakan "Insya Allah" yang artinya, "Jika Allah mengizinkan." Hal ini tertera di Yakobus 4 : 13 "Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan berdagang serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."
Mengenai hal ini, saya memiliki pengalaman tersendiri. Kamis lalu, saya melakukan presentasi kepada salah satu klien lama saya. Seperti yang saya katakan kemarin, tiada yang abadi, dan satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Enam tahun yang lalu ketika saya mulai menjadi konsultan di perusahaan ini, saya berhadapan langsung dengan pemiliknya. Kini sang pemilik sudah bertugas di luar negeri sebagai pejabat negara, dan tinggallah orang-orang baru yang mengelola perusahaannya. Saya paham betul, orang baru, akan membawa orang baru juga di lingkarannya. Maka saya sudah di ujung tanduk untuk ditendang dan digantikan oleh konsultan yang biasa menangani si orang baru ini.
Sebetulnya, saya sudah harus presentasi berminggu-minggu yang lalu, dan karena waktunya terbatas, tim kami hanya dapat melakukan dipstick survey untuk mengetahui bagaimana persepsi dan kebutuhan pelanggan terhadap jasa industri klien saya. Sampai satu minggu, baru terkumpul 9 responden yang untungnya adalah raksasa dan nama besar di bidang mereka masing-masing. Entah mengapa, meskipun ditunda saya tidak merasa tergerak untuk menambah jumlah responden dan memperbaiki proposal saya. Pertemuanpun tertunda dan dijadwal ulang berkali-kali karena si klien mendadak harus ini dan itu. Tim saya sempat cemas, namun saya katakan untuk tenang saja. Saya hanya tidak memberi tahu mereka, bahwa klien dan apa yang akan terjadi saya bawa dalam doa dan sudah saya serahkan seutuhnya kepada Bapa di Surga. Meskipun tim saya cukup heran, saya merasa tenang karena perkaranya sudah saya "titipkan" di tangan Allah, sehingga apa pun yang terjadi, saya percaya itulah yang terbaik yang diberikanNya kepada kami, dan karenanya apa pun hasilnya, saya akan mensyukurinya, tanpa rasa kecewa sedikit pun.
Maka datanglah hari Kamis, jam 14:00 seperti yang sudah ditetapkan. Di pintu masuk, saya bertemu dengan Vice President perusahaan ini, dan menyangka saya bakal hanya bersapa basa-basi saja. Saya salah besar, karena ternyata Beliau ikut serta dalam presentasi saya. Seperti yang saya duga, presentasi saya mengenai dipstick survey dengan mudah dipertanyakan keabsahannya karena kecilnya jumlah responden, dan saya akui kelemahannya. Namun yang di luar dugaan saya adalah Vice President nya justru membela dan mendukung hasil analisa kami. Bahkan Beliau bergerak lebih jauh lagi dengan meminta kami segera memasukkan fee dan kelanjutan proposal kami menjadi action plan.
Detik itu juga, saya memuliakan nama Tuhan atas segala karunia dan mukjijatNya. Adalah campur tangan Tuhan sang Vice President bisa ikut bergabung dalam pertemuan itu, dan melalui Beliau lah, Tuhan bekerja. Apa yang dikatakan dalam ayat Yakobus itu benar adanya, dan terbuktikan. Apa yang ada di Korintus pun demikian. Yang terpenting bukan saya nya, atau tim saya, namun rencana Ilahi.
Saya juga menyadari, bahwa kalau doa saya benar, Tuhan akan mendengarkannya. Acap kali doa kita salah karena menuntut ini dan itu, padahal rencana Ilahi berbeda dengan rencana dan kemauan kita. Yang terbaik menurut kita seringkali mengikuti ukuran badani dan duniawi, sedangkan yang terbaik oleh Tuhan adalah menurut ukuran Roh.
Hari ini, seperti di banyak hari sebelumnya, saya diingatkan kembali untuk bekerja dalam nama Tuhan, atas dan demi namanya, serta berkarya bersamaNya. Saya diingatkan untuk menurut jalan Tuhan karena seperti yang dikatakan Paulus, yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Dan pertumbuhan yang diberi Allah, adalah yang terbaik menurutNya bagi kita dalam roh, bukan dalam kedagingan kita...
Bila kita telah memahami bahwa bukan kita yang terpenting dalam pekerjaan kita, melainkah Allah dengan segala rencanaNya, maka layaklah bila dalam bekerja, kita selalu mendahulukan Allah, seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita yang beragama Islam, dimana di setiap langkahnya mereka selalu mengatakan "Insya Allah" yang artinya, "Jika Allah mengizinkan." Hal ini tertera di Yakobus 4 : 13 "Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan berdagang serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."
Mengenai hal ini, saya memiliki pengalaman tersendiri. Kamis lalu, saya melakukan presentasi kepada salah satu klien lama saya. Seperti yang saya katakan kemarin, tiada yang abadi, dan satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Enam tahun yang lalu ketika saya mulai menjadi konsultan di perusahaan ini, saya berhadapan langsung dengan pemiliknya. Kini sang pemilik sudah bertugas di luar negeri sebagai pejabat negara, dan tinggallah orang-orang baru yang mengelola perusahaannya. Saya paham betul, orang baru, akan membawa orang baru juga di lingkarannya. Maka saya sudah di ujung tanduk untuk ditendang dan digantikan oleh konsultan yang biasa menangani si orang baru ini.
Sebetulnya, saya sudah harus presentasi berminggu-minggu yang lalu, dan karena waktunya terbatas, tim kami hanya dapat melakukan dipstick survey untuk mengetahui bagaimana persepsi dan kebutuhan pelanggan terhadap jasa industri klien saya. Sampai satu minggu, baru terkumpul 9 responden yang untungnya adalah raksasa dan nama besar di bidang mereka masing-masing. Entah mengapa, meskipun ditunda saya tidak merasa tergerak untuk menambah jumlah responden dan memperbaiki proposal saya. Pertemuanpun tertunda dan dijadwal ulang berkali-kali karena si klien mendadak harus ini dan itu. Tim saya sempat cemas, namun saya katakan untuk tenang saja. Saya hanya tidak memberi tahu mereka, bahwa klien dan apa yang akan terjadi saya bawa dalam doa dan sudah saya serahkan seutuhnya kepada Bapa di Surga. Meskipun tim saya cukup heran, saya merasa tenang karena perkaranya sudah saya "titipkan" di tangan Allah, sehingga apa pun yang terjadi, saya percaya itulah yang terbaik yang diberikanNya kepada kami, dan karenanya apa pun hasilnya, saya akan mensyukurinya, tanpa rasa kecewa sedikit pun.
Maka datanglah hari Kamis, jam 14:00 seperti yang sudah ditetapkan. Di pintu masuk, saya bertemu dengan Vice President perusahaan ini, dan menyangka saya bakal hanya bersapa basa-basi saja. Saya salah besar, karena ternyata Beliau ikut serta dalam presentasi saya. Seperti yang saya duga, presentasi saya mengenai dipstick survey dengan mudah dipertanyakan keabsahannya karena kecilnya jumlah responden, dan saya akui kelemahannya. Namun yang di luar dugaan saya adalah Vice President nya justru membela dan mendukung hasil analisa kami. Bahkan Beliau bergerak lebih jauh lagi dengan meminta kami segera memasukkan fee dan kelanjutan proposal kami menjadi action plan.
Detik itu juga, saya memuliakan nama Tuhan atas segala karunia dan mukjijatNya. Adalah campur tangan Tuhan sang Vice President bisa ikut bergabung dalam pertemuan itu, dan melalui Beliau lah, Tuhan bekerja. Apa yang dikatakan dalam ayat Yakobus itu benar adanya, dan terbuktikan. Apa yang ada di Korintus pun demikian. Yang terpenting bukan saya nya, atau tim saya, namun rencana Ilahi.
Saya juga menyadari, bahwa kalau doa saya benar, Tuhan akan mendengarkannya. Acap kali doa kita salah karena menuntut ini dan itu, padahal rencana Ilahi berbeda dengan rencana dan kemauan kita. Yang terbaik menurut kita seringkali mengikuti ukuran badani dan duniawi, sedangkan yang terbaik oleh Tuhan adalah menurut ukuran Roh.
Hari ini, seperti di banyak hari sebelumnya, saya diingatkan kembali untuk bekerja dalam nama Tuhan, atas dan demi namanya, serta berkarya bersamaNya. Saya diingatkan untuk menurut jalan Tuhan karena seperti yang dikatakan Paulus, yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Dan pertumbuhan yang diberi Allah, adalah yang terbaik menurutNya bagi kita dalam roh, bukan dalam kedagingan kita...
Friday, August 20, 2010
20 Agustus 2010 : Pepesan Kosong
Berhari-hari belakangan ini, media dan jaringan sosial di internet banyak membahas mengenai kritik terhadap pejabat yang dianggap terlalu mementingkan pencitraan diri dibanding kinerja yang sebenarnya. Awalnya orang senang-senang saja memiliki pemimpin yang popular, tapi lama kelamaan masyarakat merasa bahwa berbagai keputusan dan tindakan Beliau lebih didasarkan pada popularitas ketimbang didasarkan atas kepentingan bangsa dan negara.
Saya lalu berpikir, salah atau benar ya tindakan pencitraan itu, mengingat pekerjaan saya sehari-hari sangat berkaitan dengan pencitraan, apakah itu perorangan, perusahaan, instansi atau produk. Sampai batas mana sebuah citra itu dianggap positif dan wajar, dan batas mana yang dianggap terlalu mengada-ada? Setelah menimbang-timbang berbagai rumusan dan berdasarkan pengalaman pribadi puluhan tahun berkutat di dunia pencitraan, akhirnya saya mengambil beberapa kesimpulan :
1. Citra yang paling hakiki dan benar adalah kesan yang ditangkap masyarakat dari hasil sekumpulan kegiatan yang didasari sifat, kepribadian, nilai-nilai yang konsisten atau merupakan kesan dari sebuah kejadian yang memiliki dampak luas di masyarakat. Citra tersebut bisa positif, bisa negatif. Setiap orang, perusahaan, instansi atau produk memiliki citranya tersendiri, yaitu pendapat orang mengenai orang, perusahaan, instansi atau produk tertentu karena "track-record" tingkah lakunya, baik yang direncanakan, atau tidak direncanakan. Dengan kata lain, tanpa upaya pencitraan pun, orang sudah memiliki citra tersendiri terhadap sesuatu.
2. Usaha pencitraan yang benar adalah upaya seseorang, atau perusahaan atau instansi atau produk agar selalu melakukan berbagai hal yang konsisten dengan sifat, nilai, kepribadian yang bersangkutan. Segala kegiatan tersebut hendaklah selalu menjunjung tinggi unsur ketulusan dan keikhlasan, serta memperhatikan kesantunan dan kepantasan terhadap nilai-nilai yang berlaku di sekitarnya. Terlalu menonjol membuatnya terlihat artifisial. Terlalu ragu-ragu, membuat usaha pencitraan tersebut tidak terlihat pengaruhnya.
3. Segala upaya menjaga kelakuan agar di koridor yang telah ditetapkan tersebut hendaklah dilakukan secara natural karena masyarakat langsung bisa menangkap bila upaya tersebut dibuat-buat atau dilakukan dengan tidak wajar.
Kejadian beberapa hari ini serta reaksi masyarakat yang luar biasa terhadap upaya pencitraan yang berlebihan ini memberi pelajaran bagi saya untuk sangat berhati-hati dalam upaya pencitraan. Banyak klien yang maruk dan tidak mau rugi, mau untung sebesar-besarnya atas setiap Rupiah yang dikeluarkannya dengan ingin mendapat publisitas sebesar-besarnya di media kelas wahid di negara ini, tanpa menyadari kalau terlalu sering dan terlalu jor-jor an justru membawa tanda tanya bagi masyarakat.
Namun, saya mengakui, citra itu juga bagaikan candu. Semakin banyak dibicarakan orang yang positif, semakin besar hidung dan kepala orang. Semakin ingin dia selalu dibicarakan, menjadi trending topic, menjadi pahlawan. Kalau sudah begini, ia sudah tidak bisa lagi melihat sedikitpun celaan atau kritik. Maunya selalu dan semakin banyak disanjung dan dipuji puja. Bila sedikit saja tidak mendapat perhatian, orang yang kecanduan itu lalu berulah aneh-aneh agar mendapat perhatian dan dibicarakan orang. Ia lupa kali ini ia dibicarakan dengan nada negatif ketimbang positifnya. Beberapa selebriti kita sudah terjeblos dalam kategori ini. Seorang diva yang lupa diri berciuman di depan umum dengan suami orang kini sudah tidak lagi dianggap diva oleh masyarakat yang dulu mengaguminya. Seorang pemain sinetron terkenal juga pernah mendapat pelajaran dari masyarakat karena upayanya mencitrakan sebagai seorang ibu yang teraniaya karena tidak mau ditemui anaknya sendiri. Ia menggedor pintu rumah mantan suaminya sambil menangis dan berteriak teriak mengatakan kangen dan cinta putranya yang masih balita. Publik menilai tindakan itu seperti sebuah adegan sinetron dan citra yang diperolehnya bukan sebagai ibu yang teraniaya, tapi bagian dari aktingnya untuk menarik simpati masyarakat.
Di sinilah pentingnya tahu batas kewajaran, karena garis antara simpati dan cemoohan hanya berbeda tipis. Kalau sudah lewat garis simpati, sangat sulit untuk memperoleh kembali simpati yang pernah didapat. Stigma negatif akan melekat cukup lama bahkan terkadang tak pernah hilang dari garis sejarah orang, perusahaan, instansi atau produk tersebut.
Hari ini saya ditunjukkan bahwa citra yang baik adalah citra yang alami dan tulus. Yang berada di garis-garis kewajaran serta norma-norma yang berlaku di sekeliling kita. Simpati di dapat dari berbagai kegiatan kita yang wajar, tulus dan membawa manfaat serta ketentraman sesuai peran kita di masyarakat. Citra yang sejati tidak bisa disulap atau dibuat. Citra yang sejati adalah citra yang tahan badai karena simpati masyarakat dibangun dari serangkaian kegiatan yang telah membuktikan sumbangsih dan ketulusan si pelaku. Karenanya citra yang disulap atau dibuat adalah citra yang sangat rapuh bagaikan pepesan kosong.
Hari ini saya diingatkan untuk mengingatkan klien-klien saya. Kalau mau citra yang baik, ya berbuatlah sesuatu yang datangnya dari hati dan membawa hasil nyata yang bisa dirasakan orang lain, bukan dengan jadi-jadian seperti membangun istana pasir : begitu kena ombak, hancur semuanya ...
Saya lalu berpikir, salah atau benar ya tindakan pencitraan itu, mengingat pekerjaan saya sehari-hari sangat berkaitan dengan pencitraan, apakah itu perorangan, perusahaan, instansi atau produk. Sampai batas mana sebuah citra itu dianggap positif dan wajar, dan batas mana yang dianggap terlalu mengada-ada? Setelah menimbang-timbang berbagai rumusan dan berdasarkan pengalaman pribadi puluhan tahun berkutat di dunia pencitraan, akhirnya saya mengambil beberapa kesimpulan :
1. Citra yang paling hakiki dan benar adalah kesan yang ditangkap masyarakat dari hasil sekumpulan kegiatan yang didasari sifat, kepribadian, nilai-nilai yang konsisten atau merupakan kesan dari sebuah kejadian yang memiliki dampak luas di masyarakat. Citra tersebut bisa positif, bisa negatif. Setiap orang, perusahaan, instansi atau produk memiliki citranya tersendiri, yaitu pendapat orang mengenai orang, perusahaan, instansi atau produk tertentu karena "track-record" tingkah lakunya, baik yang direncanakan, atau tidak direncanakan. Dengan kata lain, tanpa upaya pencitraan pun, orang sudah memiliki citra tersendiri terhadap sesuatu.
2. Usaha pencitraan yang benar adalah upaya seseorang, atau perusahaan atau instansi atau produk agar selalu melakukan berbagai hal yang konsisten dengan sifat, nilai, kepribadian yang bersangkutan. Segala kegiatan tersebut hendaklah selalu menjunjung tinggi unsur ketulusan dan keikhlasan, serta memperhatikan kesantunan dan kepantasan terhadap nilai-nilai yang berlaku di sekitarnya. Terlalu menonjol membuatnya terlihat artifisial. Terlalu ragu-ragu, membuat usaha pencitraan tersebut tidak terlihat pengaruhnya.
3. Segala upaya menjaga kelakuan agar di koridor yang telah ditetapkan tersebut hendaklah dilakukan secara natural karena masyarakat langsung bisa menangkap bila upaya tersebut dibuat-buat atau dilakukan dengan tidak wajar.
Kejadian beberapa hari ini serta reaksi masyarakat yang luar biasa terhadap upaya pencitraan yang berlebihan ini memberi pelajaran bagi saya untuk sangat berhati-hati dalam upaya pencitraan. Banyak klien yang maruk dan tidak mau rugi, mau untung sebesar-besarnya atas setiap Rupiah yang dikeluarkannya dengan ingin mendapat publisitas sebesar-besarnya di media kelas wahid di negara ini, tanpa menyadari kalau terlalu sering dan terlalu jor-jor an justru membawa tanda tanya bagi masyarakat.
Namun, saya mengakui, citra itu juga bagaikan candu. Semakin banyak dibicarakan orang yang positif, semakin besar hidung dan kepala orang. Semakin ingin dia selalu dibicarakan, menjadi trending topic, menjadi pahlawan. Kalau sudah begini, ia sudah tidak bisa lagi melihat sedikitpun celaan atau kritik. Maunya selalu dan semakin banyak disanjung dan dipuji puja. Bila sedikit saja tidak mendapat perhatian, orang yang kecanduan itu lalu berulah aneh-aneh agar mendapat perhatian dan dibicarakan orang. Ia lupa kali ini ia dibicarakan dengan nada negatif ketimbang positifnya. Beberapa selebriti kita sudah terjeblos dalam kategori ini. Seorang diva yang lupa diri berciuman di depan umum dengan suami orang kini sudah tidak lagi dianggap diva oleh masyarakat yang dulu mengaguminya. Seorang pemain sinetron terkenal juga pernah mendapat pelajaran dari masyarakat karena upayanya mencitrakan sebagai seorang ibu yang teraniaya karena tidak mau ditemui anaknya sendiri. Ia menggedor pintu rumah mantan suaminya sambil menangis dan berteriak teriak mengatakan kangen dan cinta putranya yang masih balita. Publik menilai tindakan itu seperti sebuah adegan sinetron dan citra yang diperolehnya bukan sebagai ibu yang teraniaya, tapi bagian dari aktingnya untuk menarik simpati masyarakat.
Di sinilah pentingnya tahu batas kewajaran, karena garis antara simpati dan cemoohan hanya berbeda tipis. Kalau sudah lewat garis simpati, sangat sulit untuk memperoleh kembali simpati yang pernah didapat. Stigma negatif akan melekat cukup lama bahkan terkadang tak pernah hilang dari garis sejarah orang, perusahaan, instansi atau produk tersebut.
Hari ini saya ditunjukkan bahwa citra yang baik adalah citra yang alami dan tulus. Yang berada di garis-garis kewajaran serta norma-norma yang berlaku di sekeliling kita. Simpati di dapat dari berbagai kegiatan kita yang wajar, tulus dan membawa manfaat serta ketentraman sesuai peran kita di masyarakat. Citra yang sejati tidak bisa disulap atau dibuat. Citra yang sejati adalah citra yang tahan badai karena simpati masyarakat dibangun dari serangkaian kegiatan yang telah membuktikan sumbangsih dan ketulusan si pelaku. Karenanya citra yang disulap atau dibuat adalah citra yang sangat rapuh bagaikan pepesan kosong.
Hari ini saya diingatkan untuk mengingatkan klien-klien saya. Kalau mau citra yang baik, ya berbuatlah sesuatu yang datangnya dari hati dan membawa hasil nyata yang bisa dirasakan orang lain, bukan dengan jadi-jadian seperti membangun istana pasir : begitu kena ombak, hancur semuanya ...
Labels:
'lawrence tjandra',
citra
Thursday, August 19, 2010
19 Agustus 2010 : Berubah
Saya baru saja menerima email dari mantan klien yang mengabarkan bahwa hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di perusahaan klien. Sambil membaca emailnya, saya merasa diputarkan film kenangan ketika bekerja bersamanya. Lalu, bayangan saya melantur bukan saja terkenang klien yang ini, tapi tiba-tiba seperti film saya dibawa "flashback" ke masa-masa bersama berbagai klien lainnya. Ada orang-orang yang selama bertahun-tahun masih itu-itu saja, namun tak kalah banyaknya, klien masih sama, orang-orangnya yang berubah semua. Ada beberapa klien yang saking setianya, saya malah jadi orang yang paling senior di perusahaan tersebut. Saya justru tahu silsilah dan sejarah perusahaan dan pekerjaan sehingga jadi sumber informasi bagi klien.
Saat saya akan menulis blog ini, seorang teman mengeluh begitu cepatnya waktu berlalu. Minggu lalu, jam segini ia masih mempersiapkan diri pergi ke luar negeri. Sore tadi saya sempat chat bersama teman saya Djuwita yang rindu anak gadisnya yang kini berada jauh darinya, menimba ilmu di sebuah universitas bergengsi yang jaraknya justru hanya sejengkal dari rumah saya. Dari obrolan bersamanya serasa tak percaya waktu begitu cepatnya waktu berlalu, dan bayi cantiknya kini menjadi seorang mahasiswi cantik yang siap mandiri. Djuwita bilang bahwa ia seperti orang desa saja, kangen anaknya, tapi saya membelanya dan mengatakan seorang ibu yang benar sudah sewajarnya kangen dan sayang anaknya, dan saya yakin puteri bungsunya juga merindukan keluarganya. Saya bilang, saya yang sudah setua ini saja sering rindu ibu dan secara berkala menelpon hanya untuk mengobrol ngalor ngidul dengan ibu saya.
Saya jadi ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa satu-satunya yang tidak berubah dalam kehidupan ini adalah perubahan itu sendiri. Artinya tidak ada yang tidak berubah. Saya juga jadi teringat sebuah kata mutiara yang terdapat di bantal mungil yang sudah berkeping-keping bungkusnya karena terlalu banyak saya tiduri di mobil, bunyinya : The secret of happiness is to be able to accept change gracefully. Kalimat itu tertancap dalam di benak saya karena saya begitu menyetujuinya. Kalimat tersebut juga menjadi semacam patokan dan peringatan bagi saya untuk dapat menerima perubahan dengan ikhlas sehingga saya tidak tertahan dan terpaku pada keadaan yang berubah, melainkan ikut mengalir bersamanya ke tahap dan keadaan hidup yang berikutnya.
Saya pernah membaca bahwa kehidupan di dunia ini merupakan sebuah masa yang singkat dibandingkan kehidupan abadi yang tanpa batas waktu dan jarak, dan dengan semakin cepatnya waktu berputar, saya mulai memahami bahwa kehidupan ini memang singkat. Pepatah di atas merupakan esensi mengenai kehidupan : perubahan. Jadi, kalau tidak ada perubahan, berarti itu bukan hidup. Apakah perubahan itu menjadi lebih baik atau tidak baik, itu semua dari bagaimana kita menerima perubahan tersebut. Perubahan tersebut menjadi baik bila kita bisa menerimanya dengan tulus ikhlas dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu, bahkan mendahuluinya. Perubahan itu menjadi lebih buruk bila kita tak bisa menerima dan tertahan di sana. Tumbuh kembang tubuh, perkembangan anak dari bayi - anak - remaja - dewasa - orang tua - kakek nenek dan kemudian meninggal : dari ada menjadi tiada, adalah bagian dari perubahan. Dari sehat menjadi sakit dan menjadi sehat dan menjadi sakit adalah bagian dari perubahan. Dari sekolah menjadi bekerja menjadi pensiun menjadi kehilangan pekerjaan dan penghasilan adalah bagian dari perubahan. Dari tidak punya teman menjadi banyak teman dan lama-lama satu per satu teman kita mendahului kita, juga bagian dari perubahan.
Malam ini saya diingatkan bahwa esensi kehidupan adalah perubahan. Dan sebagai mahluk hidup saya dituntut untuk bisa menyikapi dan mempertanggungjawabkan perubahan yang terjadi dalam hidup saya. Saya diberi kesempatan untuk memilih dan menentukan sikap bagaimana menghadapi perubahan, tetapi juga di dalam berbagai aspek kehidupan diberi kesempatan untuk menentukan perubahan itu sendiri. Dan saya percaya berhasil tidaknya hidup saya dinilai dari berhasil tidaknya saya menghadapi dan mengatasi perubahan.
Tiba-tiba saya teringat berbagai komentar yang mengatakan bahwa saya ini awet muda dan tidak berubah. Sebetulnya yang benar adalah karena selama ini saya bisa menyesuaikan dengan perubahan sehingga terlihat "tidak berubah", jadi saya ini berubah sesuai waktu, karena kalau tidak berubah, saya akan bergaya seperti zaman saya masih SMA atau kuliah dulu, dan komentar Anda bukan lagi saya awet muda, tapi "duuuuh, kamu itu kok ya kuno amat sih tampangnya!"....
Saat saya akan menulis blog ini, seorang teman mengeluh begitu cepatnya waktu berlalu. Minggu lalu, jam segini ia masih mempersiapkan diri pergi ke luar negeri. Sore tadi saya sempat chat bersama teman saya Djuwita yang rindu anak gadisnya yang kini berada jauh darinya, menimba ilmu di sebuah universitas bergengsi yang jaraknya justru hanya sejengkal dari rumah saya. Dari obrolan bersamanya serasa tak percaya waktu begitu cepatnya waktu berlalu, dan bayi cantiknya kini menjadi seorang mahasiswi cantik yang siap mandiri. Djuwita bilang bahwa ia seperti orang desa saja, kangen anaknya, tapi saya membelanya dan mengatakan seorang ibu yang benar sudah sewajarnya kangen dan sayang anaknya, dan saya yakin puteri bungsunya juga merindukan keluarganya. Saya bilang, saya yang sudah setua ini saja sering rindu ibu dan secara berkala menelpon hanya untuk mengobrol ngalor ngidul dengan ibu saya.
Saya jadi ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa satu-satunya yang tidak berubah dalam kehidupan ini adalah perubahan itu sendiri. Artinya tidak ada yang tidak berubah. Saya juga jadi teringat sebuah kata mutiara yang terdapat di bantal mungil yang sudah berkeping-keping bungkusnya karena terlalu banyak saya tiduri di mobil, bunyinya : The secret of happiness is to be able to accept change gracefully. Kalimat itu tertancap dalam di benak saya karena saya begitu menyetujuinya. Kalimat tersebut juga menjadi semacam patokan dan peringatan bagi saya untuk dapat menerima perubahan dengan ikhlas sehingga saya tidak tertahan dan terpaku pada keadaan yang berubah, melainkan ikut mengalir bersamanya ke tahap dan keadaan hidup yang berikutnya.
Saya pernah membaca bahwa kehidupan di dunia ini merupakan sebuah masa yang singkat dibandingkan kehidupan abadi yang tanpa batas waktu dan jarak, dan dengan semakin cepatnya waktu berputar, saya mulai memahami bahwa kehidupan ini memang singkat. Pepatah di atas merupakan esensi mengenai kehidupan : perubahan. Jadi, kalau tidak ada perubahan, berarti itu bukan hidup. Apakah perubahan itu menjadi lebih baik atau tidak baik, itu semua dari bagaimana kita menerima perubahan tersebut. Perubahan tersebut menjadi baik bila kita bisa menerimanya dengan tulus ikhlas dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu, bahkan mendahuluinya. Perubahan itu menjadi lebih buruk bila kita tak bisa menerima dan tertahan di sana. Tumbuh kembang tubuh, perkembangan anak dari bayi - anak - remaja - dewasa - orang tua - kakek nenek dan kemudian meninggal : dari ada menjadi tiada, adalah bagian dari perubahan. Dari sehat menjadi sakit dan menjadi sehat dan menjadi sakit adalah bagian dari perubahan. Dari sekolah menjadi bekerja menjadi pensiun menjadi kehilangan pekerjaan dan penghasilan adalah bagian dari perubahan. Dari tidak punya teman menjadi banyak teman dan lama-lama satu per satu teman kita mendahului kita, juga bagian dari perubahan.
Malam ini saya diingatkan bahwa esensi kehidupan adalah perubahan. Dan sebagai mahluk hidup saya dituntut untuk bisa menyikapi dan mempertanggungjawabkan perubahan yang terjadi dalam hidup saya. Saya diberi kesempatan untuk memilih dan menentukan sikap bagaimana menghadapi perubahan, tetapi juga di dalam berbagai aspek kehidupan diberi kesempatan untuk menentukan perubahan itu sendiri. Dan saya percaya berhasil tidaknya hidup saya dinilai dari berhasil tidaknya saya menghadapi dan mengatasi perubahan.
Tiba-tiba saya teringat berbagai komentar yang mengatakan bahwa saya ini awet muda dan tidak berubah. Sebetulnya yang benar adalah karena selama ini saya bisa menyesuaikan dengan perubahan sehingga terlihat "tidak berubah", jadi saya ini berubah sesuai waktu, karena kalau tidak berubah, saya akan bergaya seperti zaman saya masih SMA atau kuliah dulu, dan komentar Anda bukan lagi saya awet muda, tapi "duuuuh, kamu itu kok ya kuno amat sih tampangnya!"....
Labels:
'lawrence tjandra',
berubah
Wednesday, August 18, 2010
18 Agustus 2010 : Jiwa Penjajah
Ini bukan kisah perjuangan melawan penjajah. Ini adalah soal jiwa penjajah yang ada dalam diri kita. Sore ini seorang teman saya curhat karena mobilnya yang semata wayang ditinggal oleh kakaknya di pelataran tempat kerjanya dalam keadaan pintu tidak dapat ditutup setelah dipinjam beberapa hari yang lalu. Saat diserahkan, mobil itu dalam keadaan sehat seratus persen. Kini setelah rusak, malah ia yang dimarah-marahi kakaknya dan dimaki, "Lain kali gua nggak mau pinjam lagi sama lu!" Ketika ia menelpon orang tuanya, mereka malah bilang, "sudah lah, sama kakak sendiri kok ribut!"
Wah, saya rasanya ikut dongkol, dan kalau yang bilang begitu kakak saya, mungkin sudah saya tonjok habis. Saya tak habis berpikir mengapa ada orang yang tak tahu diri seperti kakaknya. Sudah pinjam punya orang, masih mengancam tidak mau pinjam lagi setelah merusakkan tanpa rasa bersalah. Ia menjelaskan mengenai kronologis kerusakan pintu, "Nggak tau, gua ke mobil sudah gak bisa ditutup tuh!" Juga tanpa usaha untuk memperbaikinya ke bengkel karena ogah keluar uang juga. Sekarang sang adik ketiban rezeki. Kalau lain kali tak dipinjami, nanti katanya sombong, mentang-mentang punya mobil belagu! Mentang-mentang adik, harus mau meminjami dan menurut saja diinjak-injak. Nanti kalau ada urusan dengan adiknya, dan tak mau membantu, dibilang kakak tak sayang adik, padahal setahun lalu, ia kehilangan uang down payment seratus juta untuk biaya pernikahan adiknya... yang batal! Dan semua orang buang badan saja, seolah seratus juta itu tidak ada artinya, dan ia diharuskan menelan saja kerugian itu karena ia "memang kakaknya". Saya bukannya mau membela si adik, tapi kebetulan saat ia meminjamkan mobilnya, saya melihatnya dengan mata kepala sendiri, karena pulangnya ia ikut nebeng mobil saya.
Saya lalu menceramahi teman saya. Okay, stop it! No more nice guy! Urusan keluarga, apa lagi mereka yang sudah menikah, bukan tanggung jawab kamu! Urusan orang tua, bukan urusan kamu! Mereka seharusnya belajar bertanggung jawab terhadap hidup mereka. Sudah bukan jamannya lagi orang tua menggantungkan diri pada anaknya. Memangnya anak mesin uang mereka yang bisa diperas-peras semaunya sendiri? Teman saya itu sempat mengumpulkan uang dari jerih payah bekerja siang malam sambil kuliah namun sekarang uangnya tinggal recehan saja di bank karena orang tua dan saudara-saudaranya.
Saya lalu mengajarinya untuk pertama-tama mengurusi diri sendiri. Penuhi kebutuhan sendiri dahulu baru membantu orang lain. Dan itu berarti cukup dana untuk kebutuhan bulanan yang memadai sesuai dengan kebutuhannya, cukup dana untuk disimpan buat hari tua, cukup dana untuk membayar kewajiban kredit mobilnya, cukup dana untuk emergency, cukup dana tabungan untuk liburan dan hiburan. Yang terakhir ini penting karena kalau tidak, kita tidak menikmati hasil keringat kita. Baru setelah itu orang tua. Atau anggota keluarga atau kegiatan sosial. Bukan sebaliknya. Itu pun buat saya ada syarat-syaratnya. Kalau mau memberi, jangan berharap kembali, jangan pula mengatur uang pemberiannya untuk ini itu, karena itu sudah jadi hak yang diberi. Juga, ikuti prinsip memberi karena yang diberi memang dalam kondisi hidup atau mati. Kalau urusan bisnis, tidak. Kalau urusan mau beli ini itu, tidak. Kalau mau liburan, lebih tidak lagi.
Mungkin terdengar sadis, tapi dalam hidup saya belajar bahwa dalam keadaan yang terburuk, tak ada yang membantu saya. Jadi, saya harus sedia payung sendiri sebelum hujan. Dalam banyak hal, saya melihat kita sering "memanjakan" orang-orang terdekat kita dengan cara yang salah. "Asal" meminjami juga termasuk cara memanjakan yang salah. Seharusnya, kalau kita benar-benar sayang pada mereka, kita harus mendidik mereka agar mereka tahu arti tanggung jawab terhadap kehidupan karena dengan demikian mereka memiliki kemampuan ketahanan dan daya juang yang mumpuni untuk menghadapi hidup. Terserah mau dimaki seperti apa, saya merasa didikan tersebut merupakan sumbangsih saya yang terbesar yang bisa saya berikan untuk hidupnya. Maka saya menasihati teman saya untuk berjiwa pejuang, yang tak kenal kompromi dalam merebut kemerdekaan demi kesejahteraan bangsa dan negara!
Sambil menasihati teman, saya hari ini belajar untuk tidak mau diperalat dan diinjak-injak para "penjajah" berselubung keluarga, kerabat atau teman. Pada saat yang sama, saya juga bercermin untuk tidak menjadi "penjajah". Masa sudah ratusan tahun dijajah, kita belum merdeka juga karena ulah orang-orang yang sok merasa nyaman jadi "kompeni" gadungan... Merdeka!
Wah, saya rasanya ikut dongkol, dan kalau yang bilang begitu kakak saya, mungkin sudah saya tonjok habis. Saya tak habis berpikir mengapa ada orang yang tak tahu diri seperti kakaknya. Sudah pinjam punya orang, masih mengancam tidak mau pinjam lagi setelah merusakkan tanpa rasa bersalah. Ia menjelaskan mengenai kronologis kerusakan pintu, "Nggak tau, gua ke mobil sudah gak bisa ditutup tuh!" Juga tanpa usaha untuk memperbaikinya ke bengkel karena ogah keluar uang juga. Sekarang sang adik ketiban rezeki. Kalau lain kali tak dipinjami, nanti katanya sombong, mentang-mentang punya mobil belagu! Mentang-mentang adik, harus mau meminjami dan menurut saja diinjak-injak. Nanti kalau ada urusan dengan adiknya, dan tak mau membantu, dibilang kakak tak sayang adik, padahal setahun lalu, ia kehilangan uang down payment seratus juta untuk biaya pernikahan adiknya... yang batal! Dan semua orang buang badan saja, seolah seratus juta itu tidak ada artinya, dan ia diharuskan menelan saja kerugian itu karena ia "memang kakaknya". Saya bukannya mau membela si adik, tapi kebetulan saat ia meminjamkan mobilnya, saya melihatnya dengan mata kepala sendiri, karena pulangnya ia ikut nebeng mobil saya.
Saya lalu menceramahi teman saya. Okay, stop it! No more nice guy! Urusan keluarga, apa lagi mereka yang sudah menikah, bukan tanggung jawab kamu! Urusan orang tua, bukan urusan kamu! Mereka seharusnya belajar bertanggung jawab terhadap hidup mereka. Sudah bukan jamannya lagi orang tua menggantungkan diri pada anaknya. Memangnya anak mesin uang mereka yang bisa diperas-peras semaunya sendiri? Teman saya itu sempat mengumpulkan uang dari jerih payah bekerja siang malam sambil kuliah namun sekarang uangnya tinggal recehan saja di bank karena orang tua dan saudara-saudaranya.
Saya lalu mengajarinya untuk pertama-tama mengurusi diri sendiri. Penuhi kebutuhan sendiri dahulu baru membantu orang lain. Dan itu berarti cukup dana untuk kebutuhan bulanan yang memadai sesuai dengan kebutuhannya, cukup dana untuk disimpan buat hari tua, cukup dana untuk membayar kewajiban kredit mobilnya, cukup dana untuk emergency, cukup dana tabungan untuk liburan dan hiburan. Yang terakhir ini penting karena kalau tidak, kita tidak menikmati hasil keringat kita. Baru setelah itu orang tua. Atau anggota keluarga atau kegiatan sosial. Bukan sebaliknya. Itu pun buat saya ada syarat-syaratnya. Kalau mau memberi, jangan berharap kembali, jangan pula mengatur uang pemberiannya untuk ini itu, karena itu sudah jadi hak yang diberi. Juga, ikuti prinsip memberi karena yang diberi memang dalam kondisi hidup atau mati. Kalau urusan bisnis, tidak. Kalau urusan mau beli ini itu, tidak. Kalau mau liburan, lebih tidak lagi.
Mungkin terdengar sadis, tapi dalam hidup saya belajar bahwa dalam keadaan yang terburuk, tak ada yang membantu saya. Jadi, saya harus sedia payung sendiri sebelum hujan. Dalam banyak hal, saya melihat kita sering "memanjakan" orang-orang terdekat kita dengan cara yang salah. "Asal" meminjami juga termasuk cara memanjakan yang salah. Seharusnya, kalau kita benar-benar sayang pada mereka, kita harus mendidik mereka agar mereka tahu arti tanggung jawab terhadap kehidupan karena dengan demikian mereka memiliki kemampuan ketahanan dan daya juang yang mumpuni untuk menghadapi hidup. Terserah mau dimaki seperti apa, saya merasa didikan tersebut merupakan sumbangsih saya yang terbesar yang bisa saya berikan untuk hidupnya. Maka saya menasihati teman saya untuk berjiwa pejuang, yang tak kenal kompromi dalam merebut kemerdekaan demi kesejahteraan bangsa dan negara!
Sambil menasihati teman, saya hari ini belajar untuk tidak mau diperalat dan diinjak-injak para "penjajah" berselubung keluarga, kerabat atau teman. Pada saat yang sama, saya juga bercermin untuk tidak menjadi "penjajah". Masa sudah ratusan tahun dijajah, kita belum merdeka juga karena ulah orang-orang yang sok merasa nyaman jadi "kompeni" gadungan... Merdeka!
Labels:
'jiwa penjajah',
'lawrence tjandra'
Tuesday, August 17, 2010
17 Agustus 2010 : Sok Jagoan
Sudah lama saya memperhatikan tingkah laku penumpang saat akan lepas landas dan mendarat sehubungan dengan kebebasan berdiri dan mengaktifkan telepon genggamnya, namun baru hari ini saya mendengar pramugari meneriaki seorang bapak dengan nada keras dan kencang karena sang bapak tiba-tiba berdiri dan berjalan di saat pesawat sedang menukik turun. Saya bingung dengan si Bapak. Apa sih yang dirasakan? Kebelet kencing? Kok tidak dari tadi-tadi? Tidak sadarkah ia bahwa apa yang dilakukan membahayakan seluruh orang yang ada di dalam pesawat? Sesaat pesawat mendarat dan masih dalam keadaan mengerem, si Bapak bikin heboh lagi. Padahal, setelah sampai di darat, ia biasa-biasa saja tuh, tidak jadi kebelet kencing dan dengan santainya melenggang berbicara melalui telepon genggamnya.
Telepon genggam? Wah orang kita paling rajin tuh telepon-telepon sampai sesaat pesawat mau lepas landas, padahal sudah berkali-kali diperingatkan pramugari. Pernah suatu saat saya melihat ada Bapak di depan saya masih asik saja telepon padahal pesawat sedang dalam keadaan menukik naik. Tadi, saya melihat sendiri, pengumuman baru saja berhenti mengatakan jangan menyalakan telepon,eh Bapak di seberang saya sudah menyalakan tiga teleponnya. Saya sungguh heran dan prihatin, apa sih yang ada di otak si Bapak? Segitu pentingnyakah telepon genggamnya menyala 24 jam, sampai-sampai kalau dimatikan sebentar saja seolah ia sudah ketinggalan dunia? Tidak sadarkah ia telah membahayakan semua orang di dalam pesawat? Jangan dikira pesawat sudah mendarat tidak terganggu oleh sinyal telepon genggam! Setelah saya lirik, si Bapak cuma mengelus-elus telepon genggamnya yang sudah menyala tiga-tiganya. Ada yang langsung menelpon juga bilang sudah landing. Apa perlunya sesegera itu? Toh ia punya kesempatan begitu sampai di pintu kedatangan karena mengantri imigrasi atau menunggu kopor pun lamanya setengah mati, jadi buat apa buru-buru?
Hari ini saya belajar betapa egoisnya manusia. Egois karena hanya kepentingan sendiri yang dipikir, serta egois karena hanya mau pamer punya handphone 3, serta sok sibuk dan sok penting! Melihat semua kejadian itu saya berjanji segera mematikan alat komunikasi sesaat akan memasuki pesawat, segera duduk dan mengencangkan tali pengaman dan tidak melepasnya bila tidak perlu, serta baru mengaktifkan telepon genggam setelah di ruang kedatangan.
Tapi bagaimana caranya ya untuk mengajarkan sopan santun dan patuh pada regulasi penerbangan kepada orang banyak? Anda jangan sampai seperti orang-orang yang saya ceritakan lho.... Bukannya dikagumi, malah diumpat orang sepesawat!
Telepon genggam? Wah orang kita paling rajin tuh telepon-telepon sampai sesaat pesawat mau lepas landas, padahal sudah berkali-kali diperingatkan pramugari. Pernah suatu saat saya melihat ada Bapak di depan saya masih asik saja telepon padahal pesawat sedang dalam keadaan menukik naik. Tadi, saya melihat sendiri, pengumuman baru saja berhenti mengatakan jangan menyalakan telepon,eh Bapak di seberang saya sudah menyalakan tiga teleponnya. Saya sungguh heran dan prihatin, apa sih yang ada di otak si Bapak? Segitu pentingnyakah telepon genggamnya menyala 24 jam, sampai-sampai kalau dimatikan sebentar saja seolah ia sudah ketinggalan dunia? Tidak sadarkah ia telah membahayakan semua orang di dalam pesawat? Jangan dikira pesawat sudah mendarat tidak terganggu oleh sinyal telepon genggam! Setelah saya lirik, si Bapak cuma mengelus-elus telepon genggamnya yang sudah menyala tiga-tiganya. Ada yang langsung menelpon juga bilang sudah landing. Apa perlunya sesegera itu? Toh ia punya kesempatan begitu sampai di pintu kedatangan karena mengantri imigrasi atau menunggu kopor pun lamanya setengah mati, jadi buat apa buru-buru?
Hari ini saya belajar betapa egoisnya manusia. Egois karena hanya kepentingan sendiri yang dipikir, serta egois karena hanya mau pamer punya handphone 3, serta sok sibuk dan sok penting! Melihat semua kejadian itu saya berjanji segera mematikan alat komunikasi sesaat akan memasuki pesawat, segera duduk dan mengencangkan tali pengaman dan tidak melepasnya bila tidak perlu, serta baru mengaktifkan telepon genggam setelah di ruang kedatangan.
Tapi bagaimana caranya ya untuk mengajarkan sopan santun dan patuh pada regulasi penerbangan kepada orang banyak? Anda jangan sampai seperti orang-orang yang saya ceritakan lho.... Bukannya dikagumi, malah diumpat orang sepesawat!
16 Agustus 2010 : Serabat Serobot
Seharian saya berkeliling ke sebuah taman hiburan. Tidak tokcer rasanya kalau tidak foto kanan foto kiri untuk mengabadikan keceriaan. Tapi keceriaan itu sering terganggu karena banyak orang yang tidak tahu diri dan mau menang sendiri. Semangat senang-senang juga kerap terganggu saat mengantri untuk masuk ke wahana yang tersedia. Ada saja keluarga yang menyodok, mau coba-coba menyerobot urutan. Kalau anak-anak, bisa dimengerti karena kurang dididik, tapi kalau yang menyelonong sudah bangkotan, kesal sekali rasanya! Saya jadi berpikir, apakah ini penyakitnya orang Asia dan negara-negara non bule ya?
Saya bisa membuat daftar dosanya :
1. Tanpa mau memperhatikan ada yang sedang berfoto, ada saja yang nyelonong di belakang atau di depan kita.
2. Ada saja orang yang bengang bengong berdiri di sebelah kita, tanpa sadar kita sudah pasang gaya sampai kita sebal dan mengusirnya.
3. Banyak orang yang tidak tahu diri ditunggu giliran foto. Dikiranya taman hiburan itu punya moyangnya sendiri. Bergaya macam-macam, dan giliran satu-satu bergaya. Giliran kita kira sudah selesai dan pasang gaya, eh mereka nyelonong lagi dan foto-fot lagi karena hasil jepretan tadi kurang oke.
4. Ada saja orang tua yang sok cuek dan pura-pura tidak tahu mendorong menyalip dan tanpa rasa salah meringsek ke depan kita, sambil pura-pura mengobrol dengan sanak saudaranya, sudah tahu antrinya meliuk-liku bagaikan ular naga.
5. Saat di toko cindera mata, wah kalapnya luar biasa, padahal barang begitu banyaknya, saya sampai menyerah kalah didorong kanan diseruduk kiri bukan saja oleh bapak dan ibunya, tapi anak-anaknya juga. Buas sekali. Padahal tokonya banyak sekali dan kalau kehabisan di toko sini, di toko sana pasti masih ada.
Intinya saya simpulkan sebagai : yang penting saya! Dan ... apa ya istilah Bahasa Indonesia nya: ignorance to others. Tak peduli orang lain. Berada di sebuah ruang publik yang isinya begitu banyak orang membuat saya menyadari bahwa saya ini tidak hidup sendirian dan perlu toleransi dan rasa hormat terhadap hak orang lain untuk bersama-sama menikmati wahana yang disediakan, karena toh kita sama-sama bayar.
Hari ini saya diingatkan kembali tentangpentingnya toleransi sampai pada hal yang paling sederhana sekali pun. Kalau selama ini saya cuma jengkel saja, sekarang saat saya mencatat apa yang saya pelajari dalam sehari dalam blog ini, menjadi sadar betapa menyebalkannya jadi orang yang tidak mau tahu orang lain....
Saya bisa membuat daftar dosanya :
1. Tanpa mau memperhatikan ada yang sedang berfoto, ada saja yang nyelonong di belakang atau di depan kita.
2. Ada saja orang yang bengang bengong berdiri di sebelah kita, tanpa sadar kita sudah pasang gaya sampai kita sebal dan mengusirnya.
3. Banyak orang yang tidak tahu diri ditunggu giliran foto. Dikiranya taman hiburan itu punya moyangnya sendiri. Bergaya macam-macam, dan giliran satu-satu bergaya. Giliran kita kira sudah selesai dan pasang gaya, eh mereka nyelonong lagi dan foto-fot lagi karena hasil jepretan tadi kurang oke.
4. Ada saja orang tua yang sok cuek dan pura-pura tidak tahu mendorong menyalip dan tanpa rasa salah meringsek ke depan kita, sambil pura-pura mengobrol dengan sanak saudaranya, sudah tahu antrinya meliuk-liku bagaikan ular naga.
5. Saat di toko cindera mata, wah kalapnya luar biasa, padahal barang begitu banyaknya, saya sampai menyerah kalah didorong kanan diseruduk kiri bukan saja oleh bapak dan ibunya, tapi anak-anaknya juga. Buas sekali. Padahal tokonya banyak sekali dan kalau kehabisan di toko sini, di toko sana pasti masih ada.
Intinya saya simpulkan sebagai : yang penting saya! Dan ... apa ya istilah Bahasa Indonesia nya: ignorance to others. Tak peduli orang lain. Berada di sebuah ruang publik yang isinya begitu banyak orang membuat saya menyadari bahwa saya ini tidak hidup sendirian dan perlu toleransi dan rasa hormat terhadap hak orang lain untuk bersama-sama menikmati wahana yang disediakan, karena toh kita sama-sama bayar.
Hari ini saya diingatkan kembali tentangpentingnya toleransi sampai pada hal yang paling sederhana sekali pun. Kalau selama ini saya cuma jengkel saja, sekarang saat saya mencatat apa yang saya pelajari dalam sehari dalam blog ini, menjadi sadar betapa menyebalkannya jadi orang yang tidak mau tahu orang lain....
15 Agustus 2010 : Nir-Jiwa
Seharian bersama seorang teman saya berjalan menyusuri kota, makan, jalan, shopping, foto, tertawa, sampai akhirnya saya baru menyadari bahwa canda tawa teman saya menghilang. Saya bertanya, “Lapar, ya?” Dia bilang, sakit maag nya kumat karena tidak makan seharian. Saya tanya kenapa tidak bilang dari tadi? Dia menjawab, karena saya harus puasa beberapa jam setelah kumur obat dokter untuk menghilangkan bengkak di gusi. Saya menukas, lho, it’s okay, kan bukan berarti kamu harus puasa juga? Dia bilang dia tidak mau makan kalau saya nya tidak makan juga. Wah, pusing, tapi ya sudah, saya segera mengakhiri puasa mini saya dan mencari makan di tempat terdekat.
Selama makan, pikiran saya melanglang buana. Tidak ada hubungannya sih dengan kejadian di atas, namun saya merasa diberi bukti bahwa kebersamaan secara fisik, belum tentu berarti kebersamaan secara pribadi. Sambil rehat sore, saya menonton tv dan menyaksikan film lama “The Nanny’s Diary” diputar ulang. Film itu mengisahkan betapa artifisialnya hubungan suami isteri majikan si Nanny. Bersama tapi tak bersama.
Saya lalu menutup mata. Mengakui bahwa dulu, saat bersama dengan mantan isteri atau dengan pacar, saya memang selalu bersama-sama, namun ada kalanya saya masih terkejut-kejut melihat atau mendengar pernyataan mereka yang sama sekali di luar dugaan yang membuktikan bahwa ada banyak hal yang saya tidak tahu dari mereka. Terkadang dalam pembicaraan mereka memberikan “hints” tapi saya tak “mendengarkan” dengan baik. Ada juga gerakan-gerakan atau tingkah laku yang tidak terbaca juga oleh saya. Saat ini saya soal diputarulangkan semua kejadian itu dan seperti diberi kesimpulan bahwa kebersamaan itu tidak selalu berarti bersama. Saya lalu menyadari bahwa dari sekian banyak waktu yang saya habiskan bersama dengan pasangan saya, hanya sebagian kecil yang bisa dikatakan bersama dalam arti sesungguhnya : artinya tubuh dan pikiran selaras terfokus dan memang benar-benar dalam gelombang yang sama a dengan tubuh dan pikiran pasangan yang selaras terfokus juga. Bahkan kalau mau dihitung prosentasinya, saya jadi agak seram karena seringkali jumlah keselarasan gelombang ini justru jauh lebih sedikit dari frekuensi kebersamaan kami. Pantas saja banyak pasangan yang bingung, sudah mencoba menghabiskan waktu bersama dan berusaha untuk mendahulukan kebersamaan dengan pasangan atau keluarga, kok tetap berantakan juga? Itu karena kebersamaan yang diusahakan bukan kebersamaan yang dibutuhkan setiap anggota keluarga. Seringkali kebersamaan kita hanya sebatas normatif kedekatan lahiriah, namun jiwa dan pikirannya kemana-mana. Juga, kebersamaan tersebut akhirnya tak lain dan tak bukan hanyalah bentuk kebiasaan saja, yang kalau tidak dilakukan saru atau ada yang hilang, that’s all – jadinya sebuah kebersamaan lahiriah yang nir-jiwa, alias minus jiwa, alias badannya dekat, namun masing-masing pikirannya hampa atau sedang jalan kemana-mana, seperti sedang sibuk mengetik bbm, atau browsing, atau main game. Ironisnya, dengan kemajuan elektronik yang katanya bisa mendekatkan orang-orang tercinta, semakin banyak kasat mata di berbagai tempat kita melihat pacar, keluarga, kelompok teman sedang berkumpul, tapi semuanya membisu, sibuk dengan blackberry masing-masing...
Hari ini saya menyadari sebanyak saya mengusahakan dan memprioritaskan kebersamaan bersama orang-orang yang saya cintai, saya harus memanfaatkan dan mengisi kebersamaan lahiriah itu dengan keselarasan kebersamaan batiniah,sehingga masing-masing merasakan manfaat dan keindahan kebersamaan itu. Kata orang sih, quality over quantity, namun saya mau bilang bahwa yang ideal mestinya sih quality equals quantity...
Selama makan, pikiran saya melanglang buana. Tidak ada hubungannya sih dengan kejadian di atas, namun saya merasa diberi bukti bahwa kebersamaan secara fisik, belum tentu berarti kebersamaan secara pribadi. Sambil rehat sore, saya menonton tv dan menyaksikan film lama “The Nanny’s Diary” diputar ulang. Film itu mengisahkan betapa artifisialnya hubungan suami isteri majikan si Nanny. Bersama tapi tak bersama.
Saya lalu menutup mata. Mengakui bahwa dulu, saat bersama dengan mantan isteri atau dengan pacar, saya memang selalu bersama-sama, namun ada kalanya saya masih terkejut-kejut melihat atau mendengar pernyataan mereka yang sama sekali di luar dugaan yang membuktikan bahwa ada banyak hal yang saya tidak tahu dari mereka. Terkadang dalam pembicaraan mereka memberikan “hints” tapi saya tak “mendengarkan” dengan baik. Ada juga gerakan-gerakan atau tingkah laku yang tidak terbaca juga oleh saya. Saat ini saya soal diputarulangkan semua kejadian itu dan seperti diberi kesimpulan bahwa kebersamaan itu tidak selalu berarti bersama. Saya lalu menyadari bahwa dari sekian banyak waktu yang saya habiskan bersama dengan pasangan saya, hanya sebagian kecil yang bisa dikatakan bersama dalam arti sesungguhnya : artinya tubuh dan pikiran selaras terfokus dan memang benar-benar dalam gelombang yang sama a dengan tubuh dan pikiran pasangan yang selaras terfokus juga. Bahkan kalau mau dihitung prosentasinya, saya jadi agak seram karena seringkali jumlah keselarasan gelombang ini justru jauh lebih sedikit dari frekuensi kebersamaan kami. Pantas saja banyak pasangan yang bingung, sudah mencoba menghabiskan waktu bersama dan berusaha untuk mendahulukan kebersamaan dengan pasangan atau keluarga, kok tetap berantakan juga? Itu karena kebersamaan yang diusahakan bukan kebersamaan yang dibutuhkan setiap anggota keluarga. Seringkali kebersamaan kita hanya sebatas normatif kedekatan lahiriah, namun jiwa dan pikirannya kemana-mana. Juga, kebersamaan tersebut akhirnya tak lain dan tak bukan hanyalah bentuk kebiasaan saja, yang kalau tidak dilakukan saru atau ada yang hilang, that’s all – jadinya sebuah kebersamaan lahiriah yang nir-jiwa, alias minus jiwa, alias badannya dekat, namun masing-masing pikirannya hampa atau sedang jalan kemana-mana, seperti sedang sibuk mengetik bbm, atau browsing, atau main game. Ironisnya, dengan kemajuan elektronik yang katanya bisa mendekatkan orang-orang tercinta, semakin banyak kasat mata di berbagai tempat kita melihat pacar, keluarga, kelompok teman sedang berkumpul, tapi semuanya membisu, sibuk dengan blackberry masing-masing...
Hari ini saya menyadari sebanyak saya mengusahakan dan memprioritaskan kebersamaan bersama orang-orang yang saya cintai, saya harus memanfaatkan dan mengisi kebersamaan lahiriah itu dengan keselarasan kebersamaan batiniah,sehingga masing-masing merasakan manfaat dan keindahan kebersamaan itu. Kata orang sih, quality over quantity, namun saya mau bilang bahwa yang ideal mestinya sih quality equals quantity...
14 Agustus 2010 : Life Icon
Saya memang belum menyelesaikan film The Joneses, tetapi sangat terusik dengan ide cemerlangnya membuat cerita tentang konsumerime bangsa Amerika. Ceritanya ada sebuah keluarga ideal yang baru pindah dan segera menjadi idaman lingkungan barunya. Tampan, cantik, glamor dan selalu tampil “selangkah di depan” untuk urusan penampilan. Gadget terbaru, bahkan yang belum diluncurkanpun sudah digenggaman keluarga dengan dua anak remaja itu. Tak tahunya, Keluarga Jones adalah keluarga bohongan. Setiap anggota keluarganya tak punya pertalian darah, namun merupakan satu unit kerja pemasaran yang bertugas membuat orang ngiler terhadap koleksi yang dimiliki dan tak tahan untuk ikut memiliki di rumah masing-masing. Setiap anggota mendapat target penjualan dan dievaluasi kinerja (penjualannya) setiap bulannya. Penjual tertinggi kemudian dinaikkan peringkat menjadi Life Icon.
Cerita getir ini jadi mengingatkan saya akan beberapa orang yang dijadikan Life Icon oleh berbagai perusahaan agar orang mengira sang icon hidupnya berkilau karena produk yang diiklankan, padahal kenyataannya belum tentu. Saya sendiri mengalaminya dalam lingkup tertentu, hanya saja, produk yang saya wakili tentu telah melalui saringan yang benar-benar ilmiah baru mau saya bantu menjajakan.
Melihat kiat pemasaran para produsen lalu kemudian dibawa ke tingkat lebih personal dalam bentuk contoh hidup melalui kehidupan keluarga Jones, saya jadi mempertanyakan bedanya dengan kita yang “digunakan” oleh perusahaan-perusahaan ini untuk mengiklankan produk mereka. Saya pernah melihat seorang ibu paruh baya dengan dandanan menor menggunakan kaos bermerk besar dengan kerah ditegakkan, yang tak tahunya di balik kerah itu masih ada merk yang sama tertera jelas. Sang ibu dengan bangga melenggang karena kaos yang dipakainya dari merk papan atas Saya jadi prihatin, kasihan deh ibu ini, dikerjai perusahaan besar : sudah disuruh membeli, masih dijadikan sales girl pula oleh si perusahaan. Tapi pikir punya pikir, ternyata bukan ibu itu saja yang jadi korban. Saya pun demikian. Saya suka pamer gadget terbaru, dan dengan bangga menunjukkan kecanggihan fitur-fiturnya. Saya lalu berpikir bahwa gaya saya menjelaskan tentu jauh lebih meyakinkan dari tenaga sales mana pun karena saya sudah membuktikan: telah membeli dan puas dengan produk tersebut, bahkan mengiming-imingi orang lain untuk segera ikutan punya! Lagi-lagi, saya sudah mengeluarkan kocek, masih tidak sadar jadi salesman produk tersebut.
Mirisnya, banyak sekali keluarga dan orang yang mirip Keluarga Jones yang hidup dengan merk dan pamer merk, seolah unit pemasaran berbagai produk mewah dan berlaku sebagai kapstok berjalan yang nilai jual dan nilai dipercayanya lebih tinggi daripada karyawan yang dibayar untuk merayu membeli barang yang tak mungkin dimilikinya dengan gaji yang diperoleh. Saya jadi ingat juga tepat seminggu yang lalu saya mengantar keponakan yang singgah dari Perth belanja di sebuah pertokoan besar. Di sebuah gerai baju olah raga, saya dibuat heran apakah ada orang mau beli replika kaos seragam sepak bola berbagai klub dunia kesayangan yang penuh dengan logo sponsor besar-besar. Ternyata pertanyaan saya terjawab : Ada, dan banyak. Kalau tidak pihak gerai tak akan menyediakan segitu banyaknya stok.
Saya jadi sadar, selain pengguna (produk) saya juga digunakan (produk). Sebuah situasi simbiose mutualisme yang sempurna! Namun sekarang saya tidak mau lagi jadi duta produk, paling tidak di kehidupan nyata sehari-hari. Saya akan meminimalisir kehadiran logo produk di tubuh saya, paling tidak untuk kehidupan sehari-hari. Kalau soal kerja, ya... karena dibayar. Tapi kalau for free... wah tidak sajalah. Saya mau jadi ikon hidup untuk saya sendiri, yang diingini dan dikagumi orang karena diri sendiri, bukan karena segala merk yang menempel di diri saya....
Cerita getir ini jadi mengingatkan saya akan beberapa orang yang dijadikan Life Icon oleh berbagai perusahaan agar orang mengira sang icon hidupnya berkilau karena produk yang diiklankan, padahal kenyataannya belum tentu. Saya sendiri mengalaminya dalam lingkup tertentu, hanya saja, produk yang saya wakili tentu telah melalui saringan yang benar-benar ilmiah baru mau saya bantu menjajakan.
Melihat kiat pemasaran para produsen lalu kemudian dibawa ke tingkat lebih personal dalam bentuk contoh hidup melalui kehidupan keluarga Jones, saya jadi mempertanyakan bedanya dengan kita yang “digunakan” oleh perusahaan-perusahaan ini untuk mengiklankan produk mereka. Saya pernah melihat seorang ibu paruh baya dengan dandanan menor menggunakan kaos bermerk besar dengan kerah ditegakkan, yang tak tahunya di balik kerah itu masih ada merk yang sama tertera jelas. Sang ibu dengan bangga melenggang karena kaos yang dipakainya dari merk papan atas Saya jadi prihatin, kasihan deh ibu ini, dikerjai perusahaan besar : sudah disuruh membeli, masih dijadikan sales girl pula oleh si perusahaan. Tapi pikir punya pikir, ternyata bukan ibu itu saja yang jadi korban. Saya pun demikian. Saya suka pamer gadget terbaru, dan dengan bangga menunjukkan kecanggihan fitur-fiturnya. Saya lalu berpikir bahwa gaya saya menjelaskan tentu jauh lebih meyakinkan dari tenaga sales mana pun karena saya sudah membuktikan: telah membeli dan puas dengan produk tersebut, bahkan mengiming-imingi orang lain untuk segera ikutan punya! Lagi-lagi, saya sudah mengeluarkan kocek, masih tidak sadar jadi salesman produk tersebut.
Mirisnya, banyak sekali keluarga dan orang yang mirip Keluarga Jones yang hidup dengan merk dan pamer merk, seolah unit pemasaran berbagai produk mewah dan berlaku sebagai kapstok berjalan yang nilai jual dan nilai dipercayanya lebih tinggi daripada karyawan yang dibayar untuk merayu membeli barang yang tak mungkin dimilikinya dengan gaji yang diperoleh. Saya jadi ingat juga tepat seminggu yang lalu saya mengantar keponakan yang singgah dari Perth belanja di sebuah pertokoan besar. Di sebuah gerai baju olah raga, saya dibuat heran apakah ada orang mau beli replika kaos seragam sepak bola berbagai klub dunia kesayangan yang penuh dengan logo sponsor besar-besar. Ternyata pertanyaan saya terjawab : Ada, dan banyak. Kalau tidak pihak gerai tak akan menyediakan segitu banyaknya stok.
Saya jadi sadar, selain pengguna (produk) saya juga digunakan (produk). Sebuah situasi simbiose mutualisme yang sempurna! Namun sekarang saya tidak mau lagi jadi duta produk, paling tidak di kehidupan nyata sehari-hari. Saya akan meminimalisir kehadiran logo produk di tubuh saya, paling tidak untuk kehidupan sehari-hari. Kalau soal kerja, ya... karena dibayar. Tapi kalau for free... wah tidak sajalah. Saya mau jadi ikon hidup untuk saya sendiri, yang diingini dan dikagumi orang karena diri sendiri, bukan karena segala merk yang menempel di diri saya....
Labels:
'lawrence tjandra',
'life icon'
Friday, August 13, 2010
13 Agustus 2010 : May... be no
Sore ini saya dibikin pusing dengan kepusingan seorang kerabat yang ulang tahun. Tadinya mau ada kumpul-kumpul, lalu batal karena yang bersangkutan cukup padat kegiatannya, lalu sore ini ia mengadu kalau saudara-saudara berikut orang tuanya ngambek, merasa dinomorduakan. Padahal niatnya hanya menunda, bukan meniadakan, supaya bisa punya quality time yang lebih baik ketimbang hari ini.
Saya heran, begitu banyak orang yang merasa begitu berkuasanya atas kehidupan sanak saudaranya dan menuntut banyak hal dari orang itu. Padahal sebetulnya mereka tidak benar-benar peduli dengan yang bersangkutan. Coba bayangkan : mereka selalu ribut mana pacar? kalau sudah ada, kapan kawin? kalau sudah kawin, kapan punya anak? kalau sudah punya anak, kapan punya adik? kalau sudah besar, kapan ngawinin? Mereka benar-benar suka hura-hura dan berita gembiranya, tapi sebenarnya tidak mau ambil pusing terhadap segala kerepotannya. Itulah mengapa, saya sungguh selektif hadir dan terlibat dalam kegiatan keluarga. Sering kali, terlalu banyak mulut, dan terlalu banyak ikut campur. Seperti sore ini. Apa salahnya sih ditunda beberapa hari? Mereka tidak mau tahu bagaimana ribetnya kegiatan sang anak. Yang mereka tahu hanyalah satu pakem : ulang tahun ya harus makan-makan dengan keluarga di hari ulang tahunnya. Nggak boleh ditunda. Kalau ditunda, berarti tidak mendahulukan keluarga. Tidak sayang lagi sama keluarga. Menomorduakan keluarga, atau bahkan menomorsekiankan keluarga.
Saya sedih dengan pandangan seperti ini. Menunda kan bukan berarti tidak sayang dan tidak cinta dan tidak menomorsatukan. Justru keinginan menunda adalh untuk memberikan porsi dan perhatian yang terbaik. Namun "gesture" ini tidak ditangkap atau diambil peduli oleh sang keluarga.
Saya jadi heran, sebetulnya keluarga ini sayang nggak sih dengan anggota keluarganya? Atau yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri? Mengapa mereka tidak memikirkan dari segi orang yang dicecarnya? Jadi anggota keluarga ini sebenarnya cuma objek saja kah? bukan subjek? Bisa jadi, karena ternyata yang dipikirkan bukan yang bersangkutan tapi dirinya sendiri dengan kedok norma kebiasaan siklus hidup manusia : lahir, tumbuh (sekolah dimana, mau jadi apa, kerja dimana), pertalian (pacar, jodoh, kapan menikah), kerumahtanggaan (kapan punya anak, kapan punya adik, anaknya apa, lho kok cewek semua, nggak ngejar dapat adik laki? lalu, rumahnya sudah kekecilan, pindah ke rumah gedean dong, kok di daerah sempit, pindah ke daerah elit lah, kok nggak ada kolam renang, gak asik aaah), menjadi orang tua (mana menantunya, kapan ngawinin, mana cucunya), sampai meninggal (lalu ribut soal warisan).
Saya jadi begidik. Memang hidup manusia seputar itu saja ya topiknya. Banyak orang yang merasakan sama namun tidak berani berontak dari tatanan yang ada. Jadi, ya tunduk mengikuti, sambil stress-stress sendiri sambil mengumpat hanya dalam hati. Saya jadi ingat sebuah iklan yang tanya : kapan kawin... daripada stress dijawab : May... yang langsung disambut heboh oleh keluarga. Si perjaka meneruskan lirih sambil meringis : may be yes, may be no ...
Mungkin blog ini bisa membukakan mata kepada kita generasi penerus untuk tidak melakukan kebodohan yang sama yang dilakukan generasi sebelum kita. Put unnecessary pressure kepada individu-individu yang kita labeli tersayang dan tercinta.
Hari ini saya belajar untuk tidak menuntut ini dan itu kepada keluarga saya, dan mencoba memahami dan menghormati setiap langkah dan keputusan mereka. Peduli amat dengan urutan gila yang dibikin masyarakat. Yang terpenting adalah kebahagiaan orang yang saya cintai...
(n.b. akhirnya daripada pusing, kerabat saya jadi juga makan malam bersama keluarga, dan saya kecipratan makan enak. nyam-nyam!)
Saya heran, begitu banyak orang yang merasa begitu berkuasanya atas kehidupan sanak saudaranya dan menuntut banyak hal dari orang itu. Padahal sebetulnya mereka tidak benar-benar peduli dengan yang bersangkutan. Coba bayangkan : mereka selalu ribut mana pacar? kalau sudah ada, kapan kawin? kalau sudah kawin, kapan punya anak? kalau sudah punya anak, kapan punya adik? kalau sudah besar, kapan ngawinin? Mereka benar-benar suka hura-hura dan berita gembiranya, tapi sebenarnya tidak mau ambil pusing terhadap segala kerepotannya. Itulah mengapa, saya sungguh selektif hadir dan terlibat dalam kegiatan keluarga. Sering kali, terlalu banyak mulut, dan terlalu banyak ikut campur. Seperti sore ini. Apa salahnya sih ditunda beberapa hari? Mereka tidak mau tahu bagaimana ribetnya kegiatan sang anak. Yang mereka tahu hanyalah satu pakem : ulang tahun ya harus makan-makan dengan keluarga di hari ulang tahunnya. Nggak boleh ditunda. Kalau ditunda, berarti tidak mendahulukan keluarga. Tidak sayang lagi sama keluarga. Menomorduakan keluarga, atau bahkan menomorsekiankan keluarga.
Saya sedih dengan pandangan seperti ini. Menunda kan bukan berarti tidak sayang dan tidak cinta dan tidak menomorsatukan. Justru keinginan menunda adalh untuk memberikan porsi dan perhatian yang terbaik. Namun "gesture" ini tidak ditangkap atau diambil peduli oleh sang keluarga.
Saya jadi heran, sebetulnya keluarga ini sayang nggak sih dengan anggota keluarganya? Atau yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri? Mengapa mereka tidak memikirkan dari segi orang yang dicecarnya? Jadi anggota keluarga ini sebenarnya cuma objek saja kah? bukan subjek? Bisa jadi, karena ternyata yang dipikirkan bukan yang bersangkutan tapi dirinya sendiri dengan kedok norma kebiasaan siklus hidup manusia : lahir, tumbuh (sekolah dimana, mau jadi apa, kerja dimana), pertalian (pacar, jodoh, kapan menikah), kerumahtanggaan (kapan punya anak, kapan punya adik, anaknya apa, lho kok cewek semua, nggak ngejar dapat adik laki? lalu, rumahnya sudah kekecilan, pindah ke rumah gedean dong, kok di daerah sempit, pindah ke daerah elit lah, kok nggak ada kolam renang, gak asik aaah), menjadi orang tua (mana menantunya, kapan ngawinin, mana cucunya), sampai meninggal (lalu ribut soal warisan).
Saya jadi begidik. Memang hidup manusia seputar itu saja ya topiknya. Banyak orang yang merasakan sama namun tidak berani berontak dari tatanan yang ada. Jadi, ya tunduk mengikuti, sambil stress-stress sendiri sambil mengumpat hanya dalam hati. Saya jadi ingat sebuah iklan yang tanya : kapan kawin... daripada stress dijawab : May... yang langsung disambut heboh oleh keluarga. Si perjaka meneruskan lirih sambil meringis : may be yes, may be no ...
Mungkin blog ini bisa membukakan mata kepada kita generasi penerus untuk tidak melakukan kebodohan yang sama yang dilakukan generasi sebelum kita. Put unnecessary pressure kepada individu-individu yang kita labeli tersayang dan tercinta.
Hari ini saya belajar untuk tidak menuntut ini dan itu kepada keluarga saya, dan mencoba memahami dan menghormati setiap langkah dan keputusan mereka. Peduli amat dengan urutan gila yang dibikin masyarakat. Yang terpenting adalah kebahagiaan orang yang saya cintai...
(n.b. akhirnya daripada pusing, kerabat saya jadi juga makan malam bersama keluarga, dan saya kecipratan makan enak. nyam-nyam!)
Labels:
'lawrence tjandra',
'tuntutan keluarga'
Thursday, August 12, 2010
12 Agustus 2010 : Juara Mengeluh
Saya punya kerabat yang belakangan ini gampang mengeluh dan marah-marah kalau sedikit saja kena masalah. Masalah macet yang bikin dia terlambat melulu, marah dan mutung. Mau berhenti kerja saja. Awalnya saya mencoba menghibur, lalu memberi wejangan, tapi lama-lama saya jengah juga mendengarnya.
Rupanya ia tidak sendirian, saya juga punya teman yang juara mengeluh, sampai-sampai kalau ia menelpon, saya cenderung malas mengangkat karena sudah hampir yakin paling-paling ia menjadikan saya telinga buangan keluhannya.
Saya jadi heran sendiri. Mengapa orang bisanya mengeluh terhadap hambatan yang ditemui dalam hidup ini? Padahal hambatan dalam hidup ini meskipun sakit, tidak enak dan menyebalkan justru merupakan pembelajaran atau peringatan buat kita. Pembelajaran agar kita "naik kelas" atau peringatan atas tingkah kita yang sudah kelewat jumawa. Seperti yang terjadi pada kerabat saya tadi. Ia muda, sangat pandai, juara melulu, dan akhirnya sering kali ia mengeluarkan pendapat seolah orang lain tidak punya pengalaman apa pun. Saya bilang kamu mungkin pintar namun yang pasti kamu tidak selalu benar. Hambatan tanpa kita sadari sering juga menjadi jalan yang menyelamatkan. Mungkin saya sudah pernah bercerita di blog ini bagaimana seorang bapak marah besar karena salah informasi gate sehingga tertinggal pesawat tanpa menyadari bahwa pesawat yang seharusnya membawa ia terbang saat ini tinggal puing dan semua penumpangnya tewas. Saya juga pernah keberatan mengadakan makan siang di Pearl Restaurant di Mariott karena menu di Syailendra lebih beragam, namun justru Pearl lah yang telah menyelamatkan saya dari ledakan bom Mariott yang pertama.
Selama menceramahi kerabat yang mengeluh tadi, saya kemudian menjelaskan bahwa dalam hidup ini kita belajar untuk bersifat tawakal dan ikhlas, serta bersyukur. Namun yang baru saya sadari sekarang adalah, selain ketiganya itu, kita juga ternyata harus belajar bagaimana mengubah keluhan menjadi rasa syukur. Saya baru menyadari bahwa di balik keluhan kita, selalu ada makna kurang bersyukur. Keluhan membuat kita terfokus pada satu hal kesialan kita, padahal selama hidup ini sudah berjuta karunia yang diberikan kepada kita yang sering kali lewat begitu saja tanpa syukur. Hidup di dunia ini tidak mungkin hanya merasa enak nya saja. Pasti ada tidak enaknya, pasti ada sakitnya, pasti ada susah dan dukanya. Karenanya perlu mata bijak kita untuk bisa melihat sisi positif dari setiap kejadian yang tidak kita hendaki.
Namun lepas dari semua itu, ternyata saya sekarang menyadari, alangkah tidak enaknya mendengar orang yang kerjanya mengeluh terus, takut terus, berpikiran negatif terus. Capek rasanya, dan energi kita rasanya tersedot habis di sana. Selain itu kuping terasa pekak mendengarnya. Mau menutup telepon kok ya tidak sopan, tapi kalau didengarkan terus kok ya bikin mabok saja. Saya kemudian membayangkan, bagaimana ya kalau saya yang melakukannya ke orang lain? Tiba-tiba saya jadi terbelalak sendiri. Ups. Bagaimana ya kelakuan saya pada orang sekitar selama ini? Kepada rekan kerja, kepada pembantu, supir, keluarga? Tukang mengeluh juga nggak ya? Jangan-jangan saya sudah bikin "budeg" orang lain dengan keluhan saya.
Hari ini saya mau mulai belajar, alih-alih mengeluh, saya mau belajar menggantikannya dengan kalimat syukur. Lagi pula, saya kok terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan Dewi Yull ketika dimintai komentar soal video porno Ariel-Luna-Tari. Ia mengatakan, "Kalau kita tidak bisa mengatakan sesuatu yang positif, sebaiknya tidak usah berkata apa-apa." Sebuah rumus yang luar biasa jitu!
Rupanya ia tidak sendirian, saya juga punya teman yang juara mengeluh, sampai-sampai kalau ia menelpon, saya cenderung malas mengangkat karena sudah hampir yakin paling-paling ia menjadikan saya telinga buangan keluhannya.
Saya jadi heran sendiri. Mengapa orang bisanya mengeluh terhadap hambatan yang ditemui dalam hidup ini? Padahal hambatan dalam hidup ini meskipun sakit, tidak enak dan menyebalkan justru merupakan pembelajaran atau peringatan buat kita. Pembelajaran agar kita "naik kelas" atau peringatan atas tingkah kita yang sudah kelewat jumawa. Seperti yang terjadi pada kerabat saya tadi. Ia muda, sangat pandai, juara melulu, dan akhirnya sering kali ia mengeluarkan pendapat seolah orang lain tidak punya pengalaman apa pun. Saya bilang kamu mungkin pintar namun yang pasti kamu tidak selalu benar. Hambatan tanpa kita sadari sering juga menjadi jalan yang menyelamatkan. Mungkin saya sudah pernah bercerita di blog ini bagaimana seorang bapak marah besar karena salah informasi gate sehingga tertinggal pesawat tanpa menyadari bahwa pesawat yang seharusnya membawa ia terbang saat ini tinggal puing dan semua penumpangnya tewas. Saya juga pernah keberatan mengadakan makan siang di Pearl Restaurant di Mariott karena menu di Syailendra lebih beragam, namun justru Pearl lah yang telah menyelamatkan saya dari ledakan bom Mariott yang pertama.
Selama menceramahi kerabat yang mengeluh tadi, saya kemudian menjelaskan bahwa dalam hidup ini kita belajar untuk bersifat tawakal dan ikhlas, serta bersyukur. Namun yang baru saya sadari sekarang adalah, selain ketiganya itu, kita juga ternyata harus belajar bagaimana mengubah keluhan menjadi rasa syukur. Saya baru menyadari bahwa di balik keluhan kita, selalu ada makna kurang bersyukur. Keluhan membuat kita terfokus pada satu hal kesialan kita, padahal selama hidup ini sudah berjuta karunia yang diberikan kepada kita yang sering kali lewat begitu saja tanpa syukur. Hidup di dunia ini tidak mungkin hanya merasa enak nya saja. Pasti ada tidak enaknya, pasti ada sakitnya, pasti ada susah dan dukanya. Karenanya perlu mata bijak kita untuk bisa melihat sisi positif dari setiap kejadian yang tidak kita hendaki.
Namun lepas dari semua itu, ternyata saya sekarang menyadari, alangkah tidak enaknya mendengar orang yang kerjanya mengeluh terus, takut terus, berpikiran negatif terus. Capek rasanya, dan energi kita rasanya tersedot habis di sana. Selain itu kuping terasa pekak mendengarnya. Mau menutup telepon kok ya tidak sopan, tapi kalau didengarkan terus kok ya bikin mabok saja. Saya kemudian membayangkan, bagaimana ya kalau saya yang melakukannya ke orang lain? Tiba-tiba saya jadi terbelalak sendiri. Ups. Bagaimana ya kelakuan saya pada orang sekitar selama ini? Kepada rekan kerja, kepada pembantu, supir, keluarga? Tukang mengeluh juga nggak ya? Jangan-jangan saya sudah bikin "budeg" orang lain dengan keluhan saya.
Hari ini saya mau mulai belajar, alih-alih mengeluh, saya mau belajar menggantikannya dengan kalimat syukur. Lagi pula, saya kok terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan Dewi Yull ketika dimintai komentar soal video porno Ariel-Luna-Tari. Ia mengatakan, "Kalau kita tidak bisa mengatakan sesuatu yang positif, sebaiknya tidak usah berkata apa-apa." Sebuah rumus yang luar biasa jitu!
Labels:
'lawrence tjandra',
bersyukur,
mengeluh
Wednesday, August 11, 2010
11 Agustus 2010 : Di Hati
Tepat sebelum saya menulis blog ini, saya mengintip awal film Angels & Demons yang ditonton kerabat muda dalam bentuk dvd. Suasana meninggalnya Paus Yohannes Paulus II dijadikan inspirasi penggambaran meninggalnya paus dalam plot cerita tersebut. Kenangan saya lalu melayang saat beberapa tahun yang lalu ketika sang Gembala mangkat. Saya seperti di lem di depan televisi, dan bahkan pulan awal agar bisa mengikuti prosesi pemakamannya dari awal hingga akhir, tanpa tertinggal sebuah momen sekalipun. Paus Yohannes Paulus II adalah orang yang luar biasa, yang menyentuh hati jutaan orang, bahkan mereka yang bukan beragama Katolik sekalipun.
Ada seorang lagi yang kisahnya mirip sang Gembala. Putri Diana. Saya ingat betul waktu itu saya masih tinggal di Cinere di sebuah Sabtu pagi kurang lebih jam sembilan, ketika saya sedang duduk santai membaca koran dan mendengar kabar melalui radio bahwa Sang Putri kecelakaan. Langsung saya bangkit dan mencari beritanya di CNN dan BBC, dan sejak saat itu, saya tidak pernah meninggalkan layar kaca, kecuali kalau sedang ke belakang dan mandi. Sama seperti Sri Paus, saya mengikuti detik-detik upacara pemakamannya hingga televisi menutup liputan panjangnya mengenai Sang Putri.
Ke dua tokoh ini merupakan inspirasi dan "guru" saya dalam berbagai hal. Sri Paus memberikan contoh bagaimana hidup berwawasan luas dan hidup bertoleransi yang tinggi, sedang Putri Diana menunjukkan kepada saya berbagai ilmu komunikasi dan kehumasan yang tidak pernah diajarkan oleh seorang ahli komunikasi mana pun di dunia ini. Sang Putri bahkan menunjukkan contoh mana praktek yang salah dan mana yang jitu, secara live, di depan mata jutaan orang. Bahkan pada saat mereka tiada, mereka masih memberikan pelajaran hidup luar biasa bagaimana seseorang yang hidupnya penuh kontroversi, meninggalkan jejak yang dicintai berbagai bangsa di seluruh dunia. Begitu dalam jejak yang ditinggalkan sehingga masyarakat merasa kehilangan padahal sebagian besar dari mereka, termasuk saya tak pernah mengenal kedua tokoh ini secara pribadi. Kemampuan komunikasi mereka yang luar biasa membuat saya seolah mengenal mereka secara dekat dan personal.
Sepuluh tahun setelah Sang Putri tiada, kedua anaknya menggelar sebuah konser yang dihadiri puluhan ribu orang di Stadion Wembley. Di stadion yang sama puluhan tahun lalu, Sang Putri pernah hadir dalam sebuah konser. Dalam pagelaran tersebut diputar berbagai video yang menunjukkan berbagai karya kemanusiaan Putri Diana, hadir juga orang-orang serta yayasan yang pernah tersentuh tangannya dan lagu-lagu serta artis yang mengisi acara adalah favorit Sang Putri. Selama pertunjukan lebih dari 4 jam itu, tampak jelas kecintaan rakyatnya terhadap mendiang Putri Wales tak lekang oleh waktu.
Bila ingin menarik lebih jauh, ada beberapa orang yang ribuan tahun meninggalkan dunia, masih memberi pengaruh yang luar biasa hebatnya dalam hidup keseharian kita. Mereka diantaranya adalah Yesus Kristus, Nabi Mohammad dan Buddha Gautama. Semalam, ketika menonton ulang Percy Jackson and the Lightning Thief, saya terngiang akan sebuah dialog pertemuan antara Percy dan ayahnya, Dewa Posseidon. Sang Dewa dilarang oleh Dewa Zeus untuk menengok anaknya yang separuh manusia karena dikhawatirkan akan menghilangkan fokusnya sebagai pengatur dan penyelaras dunia, namun Sang Dewa mengatakan pada puteranya : "Hanya karena aku tidak ada secara fisik bersamamu, tidak berarti bahwa aku tidak bersamamu."
Saya mengamini pernyataan itu karena secara spiritual saya bisa merasakan kehadiran mereka saat saya bertemu dalam doa. Setiap hari saya berkomunikasi dengan Allah, dengan Kristus dan dengan Bunda Maria, dan setiap saat saya melambungkan doa, saya merasakan kehadiran mereka. Sayangnya, saya ini termasuk anak bebal. Yang kadang ingat, dan kadang tak ingat. Dan parahnya lagi, saya ini termasuk yang suka lama tidak ingat. Kalau lagi senang lupa, kalau lagi susah baru ingat, kalau lagi nyaman lupa, kalau lagi sakit baru ingat. Perkataan sang ayah pada puteranya tiba-tiba menyadarkan saya bahwa walaupun saya sering ingat lupa, ternyata "yang di atas" tidak pernah lupa. Pagi tadi saya kemudian memulai lagi ritual doa yang sudah beberapa tahun tidak saya lafalkan, dan seketika itu juga saya bisa merasakan kehadiran Yang Mahakuasa, dan saya merasakan kedamaian di dalamNya.
Sebenarnya saya sudah mendengar hal ini ribuan kali, bahwa Tuhan selalu ada, Tuhan tak pernah meninggalkan kita, namun hari ini saya dibukakan mata dengan pengalaman batin sendiri, membuktikan bahwa itu benar adanya. Saya sekaligus, sekali lagi, diberi pengertian bahwa orang-orang tercinta yang tidak bersama kita, baik yang masih ada maupun yang sudah meninggal, ternyata tidak kemana-mana: mereka tinggal dalam hati kita. Adalah kita yang mengusir mereka pergi karena sakit hati, namun sebenarnya mereka tetap ada kalau saja kita mau mengundang mereka kembali dalam hati kita. Tiba-tiba saya mengalami keindahan yang luar biasa. Ketika kita terpisah secara fisik - baik karena meninggal atau karena berpisah, ternyata mereka masih tetap bersama kita, dalam hati kita. Bahwa sebenarnya saya tak pernah kehilangan siapa pun dalam hidup ini, karena mereka tetap ada di hati.
Hari ini saya belajar bahwa saya lah yang memiliki "kendali" jauh dekatnya orang-orang dalam hidup saya. Saya bisa jauh dari mereka, atau bisa dekat dengan mereka, semuanya tergantung saya sendiri. Jadi kalau ada yang mengeluh bahwa Tuhan meninggalkan dia, yang sebenarnya terjadi adalah dia tidak menyadari bahwa dia lah yang menjauhi Tuhannya...
Ada seorang lagi yang kisahnya mirip sang Gembala. Putri Diana. Saya ingat betul waktu itu saya masih tinggal di Cinere di sebuah Sabtu pagi kurang lebih jam sembilan, ketika saya sedang duduk santai membaca koran dan mendengar kabar melalui radio bahwa Sang Putri kecelakaan. Langsung saya bangkit dan mencari beritanya di CNN dan BBC, dan sejak saat itu, saya tidak pernah meninggalkan layar kaca, kecuali kalau sedang ke belakang dan mandi. Sama seperti Sri Paus, saya mengikuti detik-detik upacara pemakamannya hingga televisi menutup liputan panjangnya mengenai Sang Putri.
Ke dua tokoh ini merupakan inspirasi dan "guru" saya dalam berbagai hal. Sri Paus memberikan contoh bagaimana hidup berwawasan luas dan hidup bertoleransi yang tinggi, sedang Putri Diana menunjukkan kepada saya berbagai ilmu komunikasi dan kehumasan yang tidak pernah diajarkan oleh seorang ahli komunikasi mana pun di dunia ini. Sang Putri bahkan menunjukkan contoh mana praktek yang salah dan mana yang jitu, secara live, di depan mata jutaan orang. Bahkan pada saat mereka tiada, mereka masih memberikan pelajaran hidup luar biasa bagaimana seseorang yang hidupnya penuh kontroversi, meninggalkan jejak yang dicintai berbagai bangsa di seluruh dunia. Begitu dalam jejak yang ditinggalkan sehingga masyarakat merasa kehilangan padahal sebagian besar dari mereka, termasuk saya tak pernah mengenal kedua tokoh ini secara pribadi. Kemampuan komunikasi mereka yang luar biasa membuat saya seolah mengenal mereka secara dekat dan personal.
Sepuluh tahun setelah Sang Putri tiada, kedua anaknya menggelar sebuah konser yang dihadiri puluhan ribu orang di Stadion Wembley. Di stadion yang sama puluhan tahun lalu, Sang Putri pernah hadir dalam sebuah konser. Dalam pagelaran tersebut diputar berbagai video yang menunjukkan berbagai karya kemanusiaan Putri Diana, hadir juga orang-orang serta yayasan yang pernah tersentuh tangannya dan lagu-lagu serta artis yang mengisi acara adalah favorit Sang Putri. Selama pertunjukan lebih dari 4 jam itu, tampak jelas kecintaan rakyatnya terhadap mendiang Putri Wales tak lekang oleh waktu.
Bila ingin menarik lebih jauh, ada beberapa orang yang ribuan tahun meninggalkan dunia, masih memberi pengaruh yang luar biasa hebatnya dalam hidup keseharian kita. Mereka diantaranya adalah Yesus Kristus, Nabi Mohammad dan Buddha Gautama. Semalam, ketika menonton ulang Percy Jackson and the Lightning Thief, saya terngiang akan sebuah dialog pertemuan antara Percy dan ayahnya, Dewa Posseidon. Sang Dewa dilarang oleh Dewa Zeus untuk menengok anaknya yang separuh manusia karena dikhawatirkan akan menghilangkan fokusnya sebagai pengatur dan penyelaras dunia, namun Sang Dewa mengatakan pada puteranya : "Hanya karena aku tidak ada secara fisik bersamamu, tidak berarti bahwa aku tidak bersamamu."
Saya mengamini pernyataan itu karena secara spiritual saya bisa merasakan kehadiran mereka saat saya bertemu dalam doa. Setiap hari saya berkomunikasi dengan Allah, dengan Kristus dan dengan Bunda Maria, dan setiap saat saya melambungkan doa, saya merasakan kehadiran mereka. Sayangnya, saya ini termasuk anak bebal. Yang kadang ingat, dan kadang tak ingat. Dan parahnya lagi, saya ini termasuk yang suka lama tidak ingat. Kalau lagi senang lupa, kalau lagi susah baru ingat, kalau lagi nyaman lupa, kalau lagi sakit baru ingat. Perkataan sang ayah pada puteranya tiba-tiba menyadarkan saya bahwa walaupun saya sering ingat lupa, ternyata "yang di atas" tidak pernah lupa. Pagi tadi saya kemudian memulai lagi ritual doa yang sudah beberapa tahun tidak saya lafalkan, dan seketika itu juga saya bisa merasakan kehadiran Yang Mahakuasa, dan saya merasakan kedamaian di dalamNya.
Sebenarnya saya sudah mendengar hal ini ribuan kali, bahwa Tuhan selalu ada, Tuhan tak pernah meninggalkan kita, namun hari ini saya dibukakan mata dengan pengalaman batin sendiri, membuktikan bahwa itu benar adanya. Saya sekaligus, sekali lagi, diberi pengertian bahwa orang-orang tercinta yang tidak bersama kita, baik yang masih ada maupun yang sudah meninggal, ternyata tidak kemana-mana: mereka tinggal dalam hati kita. Adalah kita yang mengusir mereka pergi karena sakit hati, namun sebenarnya mereka tetap ada kalau saja kita mau mengundang mereka kembali dalam hati kita. Tiba-tiba saya mengalami keindahan yang luar biasa. Ketika kita terpisah secara fisik - baik karena meninggal atau karena berpisah, ternyata mereka masih tetap bersama kita, dalam hati kita. Bahwa sebenarnya saya tak pernah kehilangan siapa pun dalam hidup ini, karena mereka tetap ada di hati.
Hari ini saya belajar bahwa saya lah yang memiliki "kendali" jauh dekatnya orang-orang dalam hidup saya. Saya bisa jauh dari mereka, atau bisa dekat dengan mereka, semuanya tergantung saya sendiri. Jadi kalau ada yang mengeluh bahwa Tuhan meninggalkan dia, yang sebenarnya terjadi adalah dia tidak menyadari bahwa dia lah yang menjauhi Tuhannya...
Labels:
'di hati',
'lawrence tjandra'
Tuesday, August 10, 2010
10 Agustus 2010 : Asal Kepengen
Salah satu calon klien kami ingin melakukan kegiatan dengan patokan sebuah program yang kami ciptakan untuk klien kami yang lain. Program itu memang terlihat sangat spektakuler dan diikuti oleh puluhan ribu orang di seluruh negeri ini, dan mendapatkan dukungan dari orang ternama baik di bidang keartisan maupun pemerintahan.
Silau akan gemerlapnya, sang calon klien lalu tertarik untuk membuat kegiatan serupa. Ketika saya melihat berapa besar dana yang dipersiapkan, ternyata tak ada sepertiga dana yang dikeluarkan klien saya. Pesan yang ingin diusungnya pun berbeda jenis dengan pesan yang disampaikan klien saya. Tadinya, teman-teman kantor ingin segera menolaknya, namun saya tiba-tiba dapat wangsit untuk tetap mengerjakan proposalnya. Saya kok mendadak merasa perlu "menyadarkan" si calon klien bahwa tidak semua yang gemerlap cocok untuk kita, dan bahwa kita harus realistis dengan kondisi kantong sendiri. Maka saya akan memberinya alternatif program yang jauh lebih sesuai dengan visi dan dana mereka, namun hasilnya jauh lebih efektif ketimbang menjiplak kegiatan orang.
Detik rekan-rekan menolak, saya menyadari bahwa sering kali kita itu suka mata keranjang, mata hijau, asal kepengen, karena yang di depan mata itu indah, seksi dan menggiurkan. Kita sering jadi lupa diri bahwa kemampuan dan kondisi kita terbatas dan serba berbeda dengan apa yang indah di depan mata. Bahwa untuk memiliki dan memelihara si indah nan seksi itu perlu komitmen, waktu dan dana yang tidak sedikit. Untuk mencapai kondisi seperti sekarang misalnya, klien saya perlu waktu 8 tahun. Orang sering tak sadar itu, dikiranya kondisi klien saya sudah seksi sejak awalnya. Karena mata gelap itu, kita sering tidak menyadari bahwa kebutuhan kita belum tentu sama dan bahkan bisa sama sekali berbeda dengan yang terlihat indah di depan mata.
Lagi-lagi saya melihat ada seorang pengusaha muda yang tampil di berbagai media massa bersamaan dengan ambisinya memenangkan kursi utama di sebuah asosiasi profesi bergengsi. Mungkin ia terinspirasi dengan kampanye kepala negara yang harus dipilih oleh ratusan juta manusia di negeri ini, sedang ia hanya dipilih kurang dari seratus anggota perkumpulan tersebut. Perlu kah ia melakukan hal itu? Mungkin akan lebih efektif bila ia mengadakan roadshow bertemu dengan masing-masing dari ke seratus pemilih ketimbang muncul senyum-senyum di berbagai cover majalah papan atas.
Untuk kesekian kalinya, hari ini saya ditunjukkan bahwa hasil yang terbaik akan kita raih bila kita mau bersikap realistis. Karena hanya dengan bersikap demikian, kita bisa jujur atas kondisi kita yang sebenarnya, dan target tujuan yang tidak muluk-muluk, namun straight forward sesuai kebutuhan kita. Dalam berbagai kondisi, yang kita butuhkan adalah kelugasan. Semoga klien saya bisa menangkap pesan yang akan saya sampaikan pada mereka saat presentasi nanti ...
Silau akan gemerlapnya, sang calon klien lalu tertarik untuk membuat kegiatan serupa. Ketika saya melihat berapa besar dana yang dipersiapkan, ternyata tak ada sepertiga dana yang dikeluarkan klien saya. Pesan yang ingin diusungnya pun berbeda jenis dengan pesan yang disampaikan klien saya. Tadinya, teman-teman kantor ingin segera menolaknya, namun saya tiba-tiba dapat wangsit untuk tetap mengerjakan proposalnya. Saya kok mendadak merasa perlu "menyadarkan" si calon klien bahwa tidak semua yang gemerlap cocok untuk kita, dan bahwa kita harus realistis dengan kondisi kantong sendiri. Maka saya akan memberinya alternatif program yang jauh lebih sesuai dengan visi dan dana mereka, namun hasilnya jauh lebih efektif ketimbang menjiplak kegiatan orang.
Detik rekan-rekan menolak, saya menyadari bahwa sering kali kita itu suka mata keranjang, mata hijau, asal kepengen, karena yang di depan mata itu indah, seksi dan menggiurkan. Kita sering jadi lupa diri bahwa kemampuan dan kondisi kita terbatas dan serba berbeda dengan apa yang indah di depan mata. Bahwa untuk memiliki dan memelihara si indah nan seksi itu perlu komitmen, waktu dan dana yang tidak sedikit. Untuk mencapai kondisi seperti sekarang misalnya, klien saya perlu waktu 8 tahun. Orang sering tak sadar itu, dikiranya kondisi klien saya sudah seksi sejak awalnya. Karena mata gelap itu, kita sering tidak menyadari bahwa kebutuhan kita belum tentu sama dan bahkan bisa sama sekali berbeda dengan yang terlihat indah di depan mata.
Lagi-lagi saya melihat ada seorang pengusaha muda yang tampil di berbagai media massa bersamaan dengan ambisinya memenangkan kursi utama di sebuah asosiasi profesi bergengsi. Mungkin ia terinspirasi dengan kampanye kepala negara yang harus dipilih oleh ratusan juta manusia di negeri ini, sedang ia hanya dipilih kurang dari seratus anggota perkumpulan tersebut. Perlu kah ia melakukan hal itu? Mungkin akan lebih efektif bila ia mengadakan roadshow bertemu dengan masing-masing dari ke seratus pemilih ketimbang muncul senyum-senyum di berbagai cover majalah papan atas.
Untuk kesekian kalinya, hari ini saya ditunjukkan bahwa hasil yang terbaik akan kita raih bila kita mau bersikap realistis. Karena hanya dengan bersikap demikian, kita bisa jujur atas kondisi kita yang sebenarnya, dan target tujuan yang tidak muluk-muluk, namun straight forward sesuai kebutuhan kita. Dalam berbagai kondisi, yang kita butuhkan adalah kelugasan. Semoga klien saya bisa menangkap pesan yang akan saya sampaikan pada mereka saat presentasi nanti ...
Labels:
'lawrence tjandra',
lugas
Monday, August 09, 2010
9 Agustus 2010 : Dunia Semu
Sambil menunggu terurainya parkir di halaman sekolah Islam internasional, saya mengobrol ngalor-ngidul bersama Kepala Sekolah, Wakilnya, dan Olga Lydia. Kami berada di sana sebagai rangkaian program edukasi dari sekolah ke sekolah mengenai manfaat buah segar. Saya lalu menjelaskan bahwa program ini telah dan akan dilaksanakan di berbagai sekolah dasar di Jakarta. Salah satu calon sekolah dasar yang kami dekati, adalah sebuah sekolah elite bernuansa internasional juga yang letaknya di Jakarta Selatan.
Awalnya sekolah itu mengkonfirmasi kesediaannya, namun makin lama cerewetnya makin mengada-ada. Program edutainment berdurasi kurang lebih satu jam ini meliputi cerita, gerak dan lagu serta aneka permainan seru. Dalam ceritanya, adalah seorang gadis yang disuruh ibunya mengantar kue ke nenek. Dalam perjalanan ia diserang berbagai penyakit dan diselamatkan oleh seorang pahlawan yang selalu memberikan buah segar untuk dimakan si gadis agar ia cepat sembuh dari kekurangan vitamin C, E dan serat. Penyakitnya berbentuk monster ala dementor Harry Potter. Di sekolah lain, inilah bagian terseru dimana para siswa berteriak ingin menyelamatkan dan memberitahu si gadis manis dari tipu daya dan terkaman si monster. Namun, sekolah yang satu ini berbeda. Kepala sekolahnya mengatakan Beliau tidak mau anak-anak sekolahnya takut, dan minta agar warna monster diganti warna pink. Masih banyak permintaan lain yang sangat mengada-ada, yang membuat saya memutuskan segera membuat surat menyesal tak bisa mengadakan acara di sekolah tersebut. Monster warna pink? Setan jambu, apa!
Olga Lydia lalu menimpali, saat ia kuliah ia sekelas dengan dua pria ganteng dari keluarga kaya lulusan SMA ekslusif. Suatu saat ia mendengar keributan di kelasnya dan menemui si dua pria itu ketakutan melihat sebuah ngengat terbang. Olga dengan cueknya mengusir si ngengat dan meninggalkan ke dua pria itu dalam keadaan malu. Ia kemudian seakan menegaskan cerita saya, bahwa sesuatu yang over-protective sangat tidak baik bagi perkembangan si anak. Dunia semu yang diciptakan orang tua sangat tidak membantu menempatkan si anak dalam situasi nyata yang harus dihadapinya suatu saat kelak.
Selama 46 tahun, saya cukup beruntung diberi kelonggaran cukup oleh orang tua karena boleh lepas bermain di jalan bersama teman-teman sebaya. Keadaan seperti makin lama makin tak terlihat di tahun-tahun terakhir dimana orang tua tidak memperbolehkan anaknya naik kendaraan umum, pergi harus diantar dan ditunggui, dan semua serba diatur dan dipagari, dipantau dan dijaga. Awalnya, alasannya karena masih kecil. Namun saat mencapai akhir balik, ada lagi alasan lain, harus dijaga supaya tidak salah bergaul. Ada lagi yang begitu takutnya sang anak kena malaria atau demam berdarah, sehingga setiap saat kulit sang anak tak pernah lepas dari cairan pengusir nyamuk. Kalau sudah menikah, maunya tidak jauh-jauh dari sang anak, katanya supaya memudahkan anak bekerja karena bisa titip cucu pada mereka.
Orang tua sering tidak sadar, sikap protektif dan keinginan membantu anaknya justru menjerumuskan si anak ke dalam lobang ketidakmandirian. Suatu saat toh sang orang tua akan berpulang, dan jadilah anak-anak mereka manusia yang cacat sosial. Tidak tahu bagaimana menghadapi dunia sesungguhnya karena selama ini selalu tinggal di istana khayalan. Cerita ini sebetulnya merupakan pengulangan dari kisah Pangeran Siddarta Gautama yang tidak diberi kebebasan oleh keluarganya padahal memiliki potensi luar biasa menjadi seorang suci. Kalau sang pangeran tidak memberontak, maka Beliau tidak akan pernah menemukan jati dirinya sebagai seorang Buddha yang menjadi pantunan jutaan orang selama ribuan tahun.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya ternyata tidak selamanya seperti ini. Di sisi yang sangat berbeda, Kepala Sekolah tadi mengisahkan ada seorang anak didiknya yang kerjanya membanting pintu, dan bersikap kasar. Rupanya, ia kehilangan figur ayah yang selalu sibuk bekerja sehingga teguran apa pun, termasuk yang bersifat teriakan dan marah menjadi obat atas kerinduannya diperhatikan orang. Olga juga menambahkan bahwa ada seorang anak yang mengalami eksim berat, dengan gatal gatal dan luka sekujur tubuhnya. Sudah pergi ke dokter mana saja, ia tak dapat disembuhkan bahkan makin parah. Suatu saat sang Ibu berjumpa dengan seorang konselor. Konselor tersebut mendekati si anak dan menyapa. Saat itu juga sang anak lalu gemetar, kumat gatelan dan menggaruk lukanya. Si ibu yang jijik dengan keadaan si anak lalu menyuruh susternya untuk memegangi tangan anaknya agar tidak menggaruk luka. Sang konselor lalu menyela dan meminta si ibu untuk memeluk si anak. Tadinya sang ibu ragu karena jijik atas kondisi anaknya, namun karena didesak terus, akhirnya ia memeluk juga anaknya yang korengan itu. Seketika, hilanglah gemetar dan rasa gatal pada si anak. Diagnosanya? Sang anak rindu dekapan sayang ibunya.
Cerita nyata yang bikin miris ini menggambarkan bahwa begitu banyak cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka batin seseorang. Hanya dengan sentuhan dan kasih sayang, suatu keadaan yang menahun dapat terselesaikan dan tersembuhkan.
Hari ini saya belajar untuk tidak tinggal di alam mimpi, karena alam mimpi tidak memberikan manfaat bagi kita. Dalam wawancaranya di majalah Esquire bulan ini, Sandiaga Uno menceritakan ia kerap naik mobil biasa untuk mengingatkan dia agar tetap rendah hati, karena bila naik mobil mewah, ia selalu mendapat perlakuan istimewa sedangkan bila naik mobil butut, ia diusir-usir.
Dari semua cerita ini, saya menyimpulkan, hiduplah di alam nyata dengan penuh cinta, karena di antara realita yang ditampilkan alam nyata tersirat kekuatan, keindahan, dan kasih sayang. Tugas kita adalah untuk bisa memilah mana yang sampah, mana yang indah. Saat kita bisa menemukan keindahan kehidupan, kita mencapai tujuan yang paling hakiki dari hidup ini.
Awalnya sekolah itu mengkonfirmasi kesediaannya, namun makin lama cerewetnya makin mengada-ada. Program edutainment berdurasi kurang lebih satu jam ini meliputi cerita, gerak dan lagu serta aneka permainan seru. Dalam ceritanya, adalah seorang gadis yang disuruh ibunya mengantar kue ke nenek. Dalam perjalanan ia diserang berbagai penyakit dan diselamatkan oleh seorang pahlawan yang selalu memberikan buah segar untuk dimakan si gadis agar ia cepat sembuh dari kekurangan vitamin C, E dan serat. Penyakitnya berbentuk monster ala dementor Harry Potter. Di sekolah lain, inilah bagian terseru dimana para siswa berteriak ingin menyelamatkan dan memberitahu si gadis manis dari tipu daya dan terkaman si monster. Namun, sekolah yang satu ini berbeda. Kepala sekolahnya mengatakan Beliau tidak mau anak-anak sekolahnya takut, dan minta agar warna monster diganti warna pink. Masih banyak permintaan lain yang sangat mengada-ada, yang membuat saya memutuskan segera membuat surat menyesal tak bisa mengadakan acara di sekolah tersebut. Monster warna pink? Setan jambu, apa!
Olga Lydia lalu menimpali, saat ia kuliah ia sekelas dengan dua pria ganteng dari keluarga kaya lulusan SMA ekslusif. Suatu saat ia mendengar keributan di kelasnya dan menemui si dua pria itu ketakutan melihat sebuah ngengat terbang. Olga dengan cueknya mengusir si ngengat dan meninggalkan ke dua pria itu dalam keadaan malu. Ia kemudian seakan menegaskan cerita saya, bahwa sesuatu yang over-protective sangat tidak baik bagi perkembangan si anak. Dunia semu yang diciptakan orang tua sangat tidak membantu menempatkan si anak dalam situasi nyata yang harus dihadapinya suatu saat kelak.
Selama 46 tahun, saya cukup beruntung diberi kelonggaran cukup oleh orang tua karena boleh lepas bermain di jalan bersama teman-teman sebaya. Keadaan seperti makin lama makin tak terlihat di tahun-tahun terakhir dimana orang tua tidak memperbolehkan anaknya naik kendaraan umum, pergi harus diantar dan ditunggui, dan semua serba diatur dan dipagari, dipantau dan dijaga. Awalnya, alasannya karena masih kecil. Namun saat mencapai akhir balik, ada lagi alasan lain, harus dijaga supaya tidak salah bergaul. Ada lagi yang begitu takutnya sang anak kena malaria atau demam berdarah, sehingga setiap saat kulit sang anak tak pernah lepas dari cairan pengusir nyamuk. Kalau sudah menikah, maunya tidak jauh-jauh dari sang anak, katanya supaya memudahkan anak bekerja karena bisa titip cucu pada mereka.
Orang tua sering tidak sadar, sikap protektif dan keinginan membantu anaknya justru menjerumuskan si anak ke dalam lobang ketidakmandirian. Suatu saat toh sang orang tua akan berpulang, dan jadilah anak-anak mereka manusia yang cacat sosial. Tidak tahu bagaimana menghadapi dunia sesungguhnya karena selama ini selalu tinggal di istana khayalan. Cerita ini sebetulnya merupakan pengulangan dari kisah Pangeran Siddarta Gautama yang tidak diberi kebebasan oleh keluarganya padahal memiliki potensi luar biasa menjadi seorang suci. Kalau sang pangeran tidak memberontak, maka Beliau tidak akan pernah menemukan jati dirinya sebagai seorang Buddha yang menjadi pantunan jutaan orang selama ribuan tahun.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya ternyata tidak selamanya seperti ini. Di sisi yang sangat berbeda, Kepala Sekolah tadi mengisahkan ada seorang anak didiknya yang kerjanya membanting pintu, dan bersikap kasar. Rupanya, ia kehilangan figur ayah yang selalu sibuk bekerja sehingga teguran apa pun, termasuk yang bersifat teriakan dan marah menjadi obat atas kerinduannya diperhatikan orang. Olga juga menambahkan bahwa ada seorang anak yang mengalami eksim berat, dengan gatal gatal dan luka sekujur tubuhnya. Sudah pergi ke dokter mana saja, ia tak dapat disembuhkan bahkan makin parah. Suatu saat sang Ibu berjumpa dengan seorang konselor. Konselor tersebut mendekati si anak dan menyapa. Saat itu juga sang anak lalu gemetar, kumat gatelan dan menggaruk lukanya. Si ibu yang jijik dengan keadaan si anak lalu menyuruh susternya untuk memegangi tangan anaknya agar tidak menggaruk luka. Sang konselor lalu menyela dan meminta si ibu untuk memeluk si anak. Tadinya sang ibu ragu karena jijik atas kondisi anaknya, namun karena didesak terus, akhirnya ia memeluk juga anaknya yang korengan itu. Seketika, hilanglah gemetar dan rasa gatal pada si anak. Diagnosanya? Sang anak rindu dekapan sayang ibunya.
Cerita nyata yang bikin miris ini menggambarkan bahwa begitu banyak cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka batin seseorang. Hanya dengan sentuhan dan kasih sayang, suatu keadaan yang menahun dapat terselesaikan dan tersembuhkan.
Hari ini saya belajar untuk tidak tinggal di alam mimpi, karena alam mimpi tidak memberikan manfaat bagi kita. Dalam wawancaranya di majalah Esquire bulan ini, Sandiaga Uno menceritakan ia kerap naik mobil biasa untuk mengingatkan dia agar tetap rendah hati, karena bila naik mobil mewah, ia selalu mendapat perlakuan istimewa sedangkan bila naik mobil butut, ia diusir-usir.
Dari semua cerita ini, saya menyimpulkan, hiduplah di alam nyata dengan penuh cinta, karena di antara realita yang ditampilkan alam nyata tersirat kekuatan, keindahan, dan kasih sayang. Tugas kita adalah untuk bisa memilah mana yang sampah, mana yang indah. Saat kita bisa menemukan keindahan kehidupan, kita mencapai tujuan yang paling hakiki dari hidup ini.
Labels:
'dunia semu',
'lawrence tjandra'
Sunday, August 08, 2010
8 Agustus 2010 : Kalau Mau Harus Memberi
Saya mengantar seorang kerabat muda yang datang dari luar kota pada kerabat yang lain untuk menengok sekaligus menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya anggota keluarga mereka. Saat pamit, kerabat muda tadi menerima suvenir untuk memperingati sang lelayu. Karena saya melihat koper si kerabat muda masih kosong, saya otomatis nyeletuk, "kenapa nggak sekalian untuk si ini dan itu?" seorang kerabat kemudian masuk dan membawa dua lagi. Saya nyeletuk lagi : "Lha buat uni dan inu?" Ia menukas singkat, "gak usah, wong mereka gak peduli, inget aja nggak." Glek!
Sepanjang jalan mengantar kerabat muda tadi ke bandara, saya jadi berpikir, sejauh mana ya kita mesti itungan sama keluarga? si uni dan inu tadi bukan orang lain lho, hubungannya juga sangat dekat. Apa iya kita harus hitungan seperti itu kepada kerabat dekat? Saya sebetulnya sedih, dan merasa kok dihitungnya seperti itu ya. Mungkin ia lupa bahwa keluarga si uni dan inu termasuk orang yang pertama-tama turun tangan membantu dan memikirkan berbagai hal saat almarhum tiada. Saya juga tidak tahu apakah si uni dan si inu memang benar lupa, atau sudah menyampaikan duka citanya pada kerabat lain tapi tidak kepadanya, dan karena jaraknya jauh, dianggap sudah cukup memadai menitipkan dan mewakilkan kepada kerabat lain. Saya juga mengerti kalau dukungan di kala duka itu luar biasa pentingnya bagi yang ditinggalkan, saya juga pernah merasakannya. Tapi, saya juga tidak pernah meminta siapapun bersimpati pada saya saat kehilangan ayah tercinta. Kalau ada keluarga yang tidak memberi ucapan bela sungkawa, atau pun tidak datang melayat, buat saya mereka tetap saja keluarga. Mungkin saja mereka sibuk atau berhalangan. Tapi kalau soal menyimpankan tanda terima kasih, atau tanda kenangan, mereka tetap saja masuk dalam daftar yang didahulukan diberi, karena mereka termasuk keluarga terdekat dan kenang-kenangan itu kan sekaligus menjadi tanda kenangan atas ayah saya terhadap mereka.
Saya sungguh-sungguh terusik. Lupakah ia bahwa orang-orang yang pertama dihubungi untuk mengabarkan berita duka adalah orang-orang yang anggota keluarganya termasuk dihitung-hitung diberi suvenir atau tidak? Saya jadi mempertanyakan, jangan-jangan suvenir itu dianggap "bayaran" terhadap sumbangan dan perhatian yang diberikan orang padanya. jadi satu perhatian atau sumbangan, dapat satu suvenir.
Sebetulnya sih ini soal kecil, tapi mengganjal di hati. Hari ini saya belajar bahwa persepsi orang terhadap keluarga itu tidak selamanya sama. Kalau kerabat diperlakukan dengan perhitungan untung rugi, bagaimana dengan orang lain? Inti pembelajaran hari ini adalah agar saya tidak bersikap seperti itu. Saya justru merasa ditunjukkan untuk berlaku sebaliknya. Mendatangi dan menjangkau keluarga dan kerabat, serta teman dalam susah dan suka. Because that's what I am for...
Sepanjang jalan mengantar kerabat muda tadi ke bandara, saya jadi berpikir, sejauh mana ya kita mesti itungan sama keluarga? si uni dan inu tadi bukan orang lain lho, hubungannya juga sangat dekat. Apa iya kita harus hitungan seperti itu kepada kerabat dekat? Saya sebetulnya sedih, dan merasa kok dihitungnya seperti itu ya. Mungkin ia lupa bahwa keluarga si uni dan inu termasuk orang yang pertama-tama turun tangan membantu dan memikirkan berbagai hal saat almarhum tiada. Saya juga tidak tahu apakah si uni dan si inu memang benar lupa, atau sudah menyampaikan duka citanya pada kerabat lain tapi tidak kepadanya, dan karena jaraknya jauh, dianggap sudah cukup memadai menitipkan dan mewakilkan kepada kerabat lain. Saya juga mengerti kalau dukungan di kala duka itu luar biasa pentingnya bagi yang ditinggalkan, saya juga pernah merasakannya. Tapi, saya juga tidak pernah meminta siapapun bersimpati pada saya saat kehilangan ayah tercinta. Kalau ada keluarga yang tidak memberi ucapan bela sungkawa, atau pun tidak datang melayat, buat saya mereka tetap saja keluarga. Mungkin saja mereka sibuk atau berhalangan. Tapi kalau soal menyimpankan tanda terima kasih, atau tanda kenangan, mereka tetap saja masuk dalam daftar yang didahulukan diberi, karena mereka termasuk keluarga terdekat dan kenang-kenangan itu kan sekaligus menjadi tanda kenangan atas ayah saya terhadap mereka.
Saya sungguh-sungguh terusik. Lupakah ia bahwa orang-orang yang pertama dihubungi untuk mengabarkan berita duka adalah orang-orang yang anggota keluarganya termasuk dihitung-hitung diberi suvenir atau tidak? Saya jadi mempertanyakan, jangan-jangan suvenir itu dianggap "bayaran" terhadap sumbangan dan perhatian yang diberikan orang padanya. jadi satu perhatian atau sumbangan, dapat satu suvenir.
Sebetulnya sih ini soal kecil, tapi mengganjal di hati. Hari ini saya belajar bahwa persepsi orang terhadap keluarga itu tidak selamanya sama. Kalau kerabat diperlakukan dengan perhitungan untung rugi, bagaimana dengan orang lain? Inti pembelajaran hari ini adalah agar saya tidak bersikap seperti itu. Saya justru merasa ditunjukkan untuk berlaku sebaliknya. Mendatangi dan menjangkau keluarga dan kerabat, serta teman dalam susah dan suka. Because that's what I am for...
Labels:
'lawrence tjandra',
memberi
Saturday, August 07, 2010
7 Agustus 2010 : Wejangan Sang Naga
Petang ini saya mengajak keponakan saya Ardine untuk menonton Avatar: The Last Airbender versi 3D. Ini adalah pengalaman menonton film 3 dimensi pertama baginya. Filmnya lumayan bagus, namun sebagai seorang yang suka protes, saya merasa sang sutradara agak terlalu memusingkan mencoba memberi penjelasan dan sejarah mengapa begini dan begitu, serta asal usul ini dan itu. Di luar itu semua filmnya terasa cukup seru, apa lagi dengan teknik 3D yang lumayan baik, meskipun masih kalah jauh dari Avatar nya James Cameron.
Ketika sang Avatar muda, Aang, meminta wejangan pada naga untuk mengalahkan bangsa api, sang naga kemudian berkata : Lawanlah dengan air, karena air adalah pengertian, bersikaplah mengalir seperti air. Seorang avatar adalah penyeimbang, karena itu janganlah menyakiti orang lain, termasuk musuhmu.
Ada berbagai kiasan yang membuat saya belajar dari film tersebut. Api melambangkan semangat, namun juga amarah yang berkobar dan air adalah penyejuk, karenanya amarah dan emosi hanya dapat dikalahkan dengan kepala dingin. Hanya dengan menghilangkan emosi, kita dapat menang. Hanya dengan pengertian, kita dimengerti dan menang.
Maka Aang pun mematuhi petunjuk Sang Naga. Ia mengendalikan air untuk mengalahkan sang api, mungkin sebagai kiasan mengendalikan keluwesan air yang menyejukkan untuk mengalahkan amarah. Ia tidak menyerang pasukan api, sebagai gantinya ia menggunakan bendungan air untuk menghalau sang api. Pada akhirnya ia tidak menyakiti siapa pun.
Saat makan malam seorang kerabat muda bercerita bahwa di kantornya ada orang yang sirik padanya, dan menghasut. Kini, ada sebuah kejadian yang menjadi buah simalakama bagi si penghasut. Mau minta tolong kepada kerabat saya kok ya malu, tidak minta tolong juga menjadi petaka tersendiri baginya. Maka ketika kerabat bertanya harus apa, saya hanya menggunakan prinsip sang naga : tidak mencelakai bukan berarti menolong bukan? Jadi kamu tidak punya kewajiban membantunya...
Sering kali prinsip manusia sering berpangkal kebuasan. Harus menghabisi kalau tidak mau dihabisi. Harus mengalahkan kalau tidak mau dikalahkan. Harus mencelakai kalau tidak mau dicelakai. Prinsip itu sudah berkali-kali dibantah dan diperingatkan oleh semua orang suci. Ajaran Sang Naga adalah cerminan ajaran bijak. Untuk menang, kita tidak harus membunuh. Untuk menang, kita tidak harus menyakiti. Untuk menang, kita tidak harus menyakiti. Dalam film di atas digambarkan, cukup melindungi diri dan menghalau pasukan yang bermaksud menjahati kita, itu lah esensi kebijakan kehidupan yang sejati.
Hari ini saya belajar : untuk menang, kita harus menghilangkan ke-egoan kita dan bila perlu membela diri, jangan sampai kita menyakiti orang lain, karena dengan menyakiti beban dosa dan kesalahan akan berpindah dari orang itu ke diri kita sendiri. Biarlah kehidupan yang membalas karena pembalasan itu sesungguhnya bukanlah hak kita...
Ketika sang Avatar muda, Aang, meminta wejangan pada naga untuk mengalahkan bangsa api, sang naga kemudian berkata : Lawanlah dengan air, karena air adalah pengertian, bersikaplah mengalir seperti air. Seorang avatar adalah penyeimbang, karena itu janganlah menyakiti orang lain, termasuk musuhmu.
Ada berbagai kiasan yang membuat saya belajar dari film tersebut. Api melambangkan semangat, namun juga amarah yang berkobar dan air adalah penyejuk, karenanya amarah dan emosi hanya dapat dikalahkan dengan kepala dingin. Hanya dengan menghilangkan emosi, kita dapat menang. Hanya dengan pengertian, kita dimengerti dan menang.
Maka Aang pun mematuhi petunjuk Sang Naga. Ia mengendalikan air untuk mengalahkan sang api, mungkin sebagai kiasan mengendalikan keluwesan air yang menyejukkan untuk mengalahkan amarah. Ia tidak menyerang pasukan api, sebagai gantinya ia menggunakan bendungan air untuk menghalau sang api. Pada akhirnya ia tidak menyakiti siapa pun.
Saat makan malam seorang kerabat muda bercerita bahwa di kantornya ada orang yang sirik padanya, dan menghasut. Kini, ada sebuah kejadian yang menjadi buah simalakama bagi si penghasut. Mau minta tolong kepada kerabat saya kok ya malu, tidak minta tolong juga menjadi petaka tersendiri baginya. Maka ketika kerabat bertanya harus apa, saya hanya menggunakan prinsip sang naga : tidak mencelakai bukan berarti menolong bukan? Jadi kamu tidak punya kewajiban membantunya...
Sering kali prinsip manusia sering berpangkal kebuasan. Harus menghabisi kalau tidak mau dihabisi. Harus mengalahkan kalau tidak mau dikalahkan. Harus mencelakai kalau tidak mau dicelakai. Prinsip itu sudah berkali-kali dibantah dan diperingatkan oleh semua orang suci. Ajaran Sang Naga adalah cerminan ajaran bijak. Untuk menang, kita tidak harus membunuh. Untuk menang, kita tidak harus menyakiti. Untuk menang, kita tidak harus menyakiti. Dalam film di atas digambarkan, cukup melindungi diri dan menghalau pasukan yang bermaksud menjahati kita, itu lah esensi kebijakan kehidupan yang sejati.
Hari ini saya belajar : untuk menang, kita harus menghilangkan ke-egoan kita dan bila perlu membela diri, jangan sampai kita menyakiti orang lain, karena dengan menyakiti beban dosa dan kesalahan akan berpindah dari orang itu ke diri kita sendiri. Biarlah kehidupan yang membalas karena pembalasan itu sesungguhnya bukanlah hak kita...
Subscribe to:
Posts (Atom)