Sunday, August 08, 2010

8 Agustus 2010 : Kalau Mau Harus Memberi

Saya mengantar seorang kerabat muda yang datang dari luar kota pada kerabat yang lain untuk menengok sekaligus menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya anggota keluarga mereka. Saat pamit, kerabat muda tadi menerima suvenir untuk memperingati sang lelayu. Karena saya melihat koper si kerabat muda masih kosong, saya otomatis nyeletuk, "kenapa nggak sekalian untuk si ini dan itu?" seorang kerabat kemudian masuk dan membawa dua lagi. Saya nyeletuk lagi : "Lha buat uni dan inu?" Ia menukas singkat, "gak usah, wong mereka gak peduli, inget aja nggak." Glek!

Sepanjang jalan mengantar kerabat muda tadi ke bandara, saya jadi berpikir, sejauh mana ya kita mesti itungan sama keluarga? si uni dan inu tadi bukan orang lain lho, hubungannya juga sangat dekat. Apa iya kita harus hitungan seperti itu kepada kerabat dekat? Saya sebetulnya sedih, dan merasa kok dihitungnya seperti itu ya. Mungkin ia lupa bahwa keluarga si uni dan inu termasuk orang yang pertama-tama turun tangan membantu dan memikirkan berbagai hal saat almarhum tiada. Saya juga tidak tahu apakah si uni dan si inu memang benar lupa, atau sudah menyampaikan duka citanya pada kerabat lain tapi tidak kepadanya, dan karena jaraknya jauh, dianggap sudah cukup memadai menitipkan dan mewakilkan kepada kerabat lain. Saya juga mengerti kalau dukungan di kala duka itu luar biasa pentingnya bagi yang ditinggalkan, saya juga pernah merasakannya. Tapi, saya juga tidak pernah meminta siapapun bersimpati pada saya saat kehilangan ayah tercinta. Kalau ada keluarga yang tidak memberi ucapan bela sungkawa, atau pun tidak datang melayat, buat saya mereka tetap saja keluarga. Mungkin saja mereka sibuk atau berhalangan. Tapi kalau soal menyimpankan tanda terima kasih, atau tanda kenangan, mereka tetap saja masuk dalam daftar yang didahulukan diberi, karena mereka termasuk keluarga terdekat dan kenang-kenangan itu kan sekaligus menjadi tanda kenangan atas ayah saya terhadap mereka.

Saya sungguh-sungguh terusik. Lupakah ia bahwa orang-orang yang pertama dihubungi untuk mengabarkan berita duka adalah orang-orang yang anggota keluarganya termasuk dihitung-hitung diberi suvenir atau tidak? Saya jadi mempertanyakan, jangan-jangan suvenir itu dianggap "bayaran" terhadap sumbangan dan perhatian yang diberikan orang padanya. jadi satu perhatian atau sumbangan, dapat satu suvenir.

Sebetulnya sih ini soal kecil, tapi mengganjal di hati. Hari ini saya belajar bahwa persepsi orang terhadap keluarga itu tidak selamanya sama. Kalau kerabat diperlakukan dengan perhitungan untung rugi, bagaimana dengan orang lain? Inti pembelajaran hari ini adalah agar saya tidak bersikap seperti itu. Saya justru merasa ditunjukkan untuk berlaku sebaliknya. Mendatangi dan menjangkau keluarga dan kerabat, serta teman dalam susah dan suka. Because that's what I am for...

No comments: