Thursday, August 12, 2010

12 Agustus 2010 : Juara Mengeluh

Saya punya kerabat yang belakangan ini gampang mengeluh dan marah-marah kalau sedikit saja kena masalah. Masalah macet yang bikin dia terlambat melulu, marah dan mutung. Mau berhenti kerja saja. Awalnya saya mencoba menghibur, lalu memberi wejangan, tapi lama-lama saya jengah juga mendengarnya.

Rupanya ia tidak sendirian, saya juga punya teman yang juara mengeluh, sampai-sampai kalau ia menelpon, saya cenderung malas mengangkat karena sudah hampir yakin paling-paling ia menjadikan saya telinga buangan keluhannya.

Saya jadi heran sendiri. Mengapa orang bisanya mengeluh terhadap hambatan yang ditemui dalam hidup ini? Padahal hambatan dalam hidup ini meskipun sakit, tidak enak dan menyebalkan justru merupakan pembelajaran atau peringatan buat kita. Pembelajaran agar kita "naik kelas" atau peringatan atas tingkah kita yang sudah kelewat jumawa. Seperti yang terjadi pada kerabat saya tadi. Ia muda, sangat pandai, juara melulu, dan akhirnya sering kali ia mengeluarkan pendapat seolah orang lain tidak punya pengalaman apa pun. Saya bilang kamu mungkin pintar namun yang pasti kamu tidak selalu benar. Hambatan tanpa kita sadari sering juga menjadi jalan yang menyelamatkan. Mungkin saya sudah pernah bercerita di blog ini bagaimana seorang bapak marah besar karena salah informasi gate sehingga tertinggal pesawat tanpa menyadari bahwa pesawat yang seharusnya membawa ia terbang saat ini tinggal puing dan semua penumpangnya tewas. Saya juga pernah keberatan mengadakan makan siang di Pearl Restaurant di Mariott karena menu di Syailendra lebih beragam, namun justru Pearl lah yang telah menyelamatkan saya dari ledakan bom Mariott yang pertama.

Selama menceramahi kerabat yang mengeluh tadi, saya kemudian menjelaskan bahwa dalam hidup ini kita belajar untuk bersifat tawakal dan ikhlas, serta bersyukur. Namun yang baru saya sadari sekarang adalah, selain ketiganya itu, kita juga ternyata harus belajar bagaimana mengubah keluhan menjadi rasa syukur. Saya baru menyadari bahwa di balik keluhan kita, selalu ada makna kurang bersyukur. Keluhan membuat kita terfokus pada satu hal kesialan kita, padahal selama hidup ini sudah berjuta karunia yang diberikan kepada kita yang sering kali lewat begitu saja tanpa syukur. Hidup di dunia ini tidak mungkin hanya merasa enak nya saja. Pasti ada tidak enaknya, pasti ada sakitnya, pasti ada susah dan dukanya. Karenanya perlu mata bijak kita untuk bisa melihat sisi positif dari setiap kejadian yang tidak kita hendaki.

Namun lepas dari semua itu, ternyata saya sekarang menyadari, alangkah tidak enaknya mendengar orang yang kerjanya mengeluh terus, takut terus, berpikiran negatif terus. Capek rasanya, dan energi kita rasanya tersedot habis di sana. Selain itu kuping terasa pekak mendengarnya. Mau menutup telepon kok ya tidak sopan, tapi kalau didengarkan terus kok ya bikin mabok saja. Saya kemudian membayangkan, bagaimana ya kalau saya yang melakukannya ke orang lain? Tiba-tiba saya jadi terbelalak sendiri. Ups. Bagaimana ya kelakuan saya pada orang sekitar selama ini? Kepada rekan kerja, kepada pembantu, supir, keluarga? Tukang mengeluh juga nggak ya? Jangan-jangan saya sudah bikin "budeg" orang lain dengan keluhan saya.

Hari ini saya mau mulai belajar, alih-alih mengeluh, saya mau belajar menggantikannya dengan kalimat syukur. Lagi pula, saya kok terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan Dewi Yull ketika dimintai komentar soal video porno Ariel-Luna-Tari. Ia mengatakan, "Kalau kita tidak bisa mengatakan sesuatu yang positif, sebaiknya tidak usah berkata apa-apa." Sebuah rumus yang luar biasa jitu!

No comments: