Tuesday, August 17, 2010

15 Agustus 2010 : Nir-Jiwa

Seharian bersama seorang teman saya berjalan menyusuri kota, makan, jalan, shopping, foto, tertawa, sampai akhirnya saya baru menyadari bahwa canda tawa teman saya menghilang. Saya bertanya, “Lapar, ya?” Dia bilang, sakit maag nya kumat karena tidak makan seharian. Saya tanya kenapa tidak bilang dari tadi? Dia menjawab, karena saya harus puasa beberapa jam setelah kumur obat dokter untuk menghilangkan bengkak di gusi. Saya menukas, lho, it’s okay, kan bukan berarti kamu harus puasa juga? Dia bilang dia tidak mau makan kalau saya nya tidak makan juga. Wah, pusing, tapi ya sudah, saya segera mengakhiri puasa mini saya dan mencari makan di tempat terdekat.
Selama makan, pikiran saya melanglang buana. Tidak ada hubungannya sih dengan kejadian di atas, namun saya merasa diberi bukti bahwa kebersamaan secara fisik, belum tentu berarti kebersamaan secara pribadi. Sambil rehat sore, saya menonton tv dan menyaksikan film lama “The Nanny’s Diary” diputar ulang. Film itu mengisahkan betapa artifisialnya hubungan suami isteri majikan si Nanny. Bersama tapi tak bersama.
Saya lalu menutup mata. Mengakui bahwa dulu, saat bersama dengan mantan isteri atau dengan pacar, saya memang selalu bersama-sama, namun ada kalanya saya masih terkejut-kejut melihat atau mendengar pernyataan mereka yang sama sekali di luar dugaan yang membuktikan bahwa ada banyak hal yang saya tidak tahu dari mereka. Terkadang dalam pembicaraan mereka memberikan “hints” tapi saya tak “mendengarkan” dengan baik. Ada juga gerakan-gerakan atau tingkah laku yang tidak terbaca juga oleh saya. Saat ini saya soal diputarulangkan semua kejadian itu dan seperti diberi kesimpulan bahwa kebersamaan itu tidak selalu berarti bersama. Saya lalu menyadari bahwa dari sekian banyak waktu yang saya habiskan bersama dengan pasangan saya, hanya sebagian kecil yang bisa dikatakan bersama dalam arti sesungguhnya : artinya tubuh dan pikiran selaras terfokus dan memang benar-benar dalam gelombang yang sama a dengan tubuh dan pikiran pasangan yang selaras terfokus juga. Bahkan kalau mau dihitung prosentasinya, saya jadi agak seram karena seringkali jumlah keselarasan gelombang ini justru jauh lebih sedikit dari frekuensi kebersamaan kami. Pantas saja banyak pasangan yang bingung, sudah mencoba menghabiskan waktu bersama dan berusaha untuk mendahulukan kebersamaan dengan pasangan atau keluarga, kok tetap berantakan juga? Itu karena kebersamaan yang diusahakan bukan kebersamaan yang dibutuhkan setiap anggota keluarga. Seringkali kebersamaan kita hanya sebatas normatif kedekatan lahiriah, namun jiwa dan pikirannya kemana-mana. Juga, kebersamaan tersebut akhirnya tak lain dan tak bukan hanyalah bentuk kebiasaan saja, yang kalau tidak dilakukan saru atau ada yang hilang, that’s all – jadinya sebuah kebersamaan lahiriah yang nir-jiwa, alias minus jiwa, alias badannya dekat, namun masing-masing pikirannya hampa atau sedang jalan kemana-mana, seperti sedang sibuk mengetik bbm, atau browsing, atau main game. Ironisnya, dengan kemajuan elektronik yang katanya bisa mendekatkan orang-orang tercinta, semakin banyak kasat mata di berbagai tempat kita melihat pacar, keluarga, kelompok teman sedang berkumpul, tapi semuanya membisu, sibuk dengan blackberry masing-masing...
Hari ini saya menyadari sebanyak saya mengusahakan dan memprioritaskan kebersamaan bersama orang-orang yang saya cintai, saya harus memanfaatkan dan mengisi kebersamaan lahiriah itu dengan keselarasan kebersamaan batiniah,sehingga masing-masing merasakan manfaat dan keindahan kebersamaan itu. Kata orang sih, quality over quantity, namun saya mau bilang bahwa yang ideal mestinya sih quality equals quantity...

No comments: