Friday, August 20, 2010

20 Agustus 2010 : Pepesan Kosong

Berhari-hari belakangan ini, media dan jaringan sosial di internet banyak membahas mengenai kritik terhadap pejabat yang dianggap terlalu mementingkan pencitraan diri dibanding kinerja yang sebenarnya. Awalnya orang senang-senang saja memiliki pemimpin yang popular, tapi lama kelamaan masyarakat merasa bahwa berbagai keputusan dan tindakan Beliau lebih didasarkan pada popularitas ketimbang didasarkan atas kepentingan bangsa dan negara.

Saya lalu berpikir, salah atau benar ya tindakan pencitraan itu, mengingat pekerjaan saya sehari-hari sangat berkaitan dengan pencitraan, apakah itu perorangan, perusahaan, instansi atau produk. Sampai batas mana sebuah citra itu dianggap positif dan wajar, dan batas mana yang dianggap terlalu mengada-ada? Setelah menimbang-timbang berbagai rumusan dan berdasarkan pengalaman pribadi puluhan tahun berkutat di dunia pencitraan, akhirnya saya mengambil beberapa kesimpulan :

1. Citra yang paling hakiki dan benar adalah kesan yang ditangkap masyarakat dari hasil sekumpulan kegiatan yang didasari sifat, kepribadian, nilai-nilai yang konsisten atau merupakan kesan dari sebuah kejadian yang memiliki dampak luas di masyarakat. Citra tersebut bisa positif, bisa negatif. Setiap orang, perusahaan, instansi atau produk memiliki citranya tersendiri, yaitu pendapat orang mengenai orang, perusahaan, instansi atau produk tertentu karena "track-record" tingkah lakunya, baik yang direncanakan, atau tidak direncanakan. Dengan kata lain, tanpa upaya pencitraan pun, orang sudah memiliki citra tersendiri terhadap sesuatu.

2. Usaha pencitraan yang benar adalah upaya seseorang, atau perusahaan atau instansi atau produk agar selalu melakukan berbagai hal yang konsisten dengan sifat, nilai, kepribadian yang bersangkutan. Segala kegiatan tersebut hendaklah selalu menjunjung tinggi unsur ketulusan dan keikhlasan, serta memperhatikan kesantunan dan kepantasan terhadap nilai-nilai yang berlaku di sekitarnya. Terlalu menonjol membuatnya terlihat artifisial. Terlalu ragu-ragu, membuat usaha pencitraan tersebut tidak terlihat pengaruhnya.

3. Segala upaya menjaga kelakuan agar di koridor yang telah ditetapkan tersebut hendaklah dilakukan secara natural karena masyarakat langsung bisa menangkap bila upaya tersebut dibuat-buat atau dilakukan dengan tidak wajar.

Kejadian beberapa hari ini serta reaksi masyarakat yang luar biasa terhadap upaya pencitraan yang berlebihan ini memberi pelajaran bagi saya untuk sangat berhati-hati dalam upaya pencitraan. Banyak klien yang maruk dan tidak mau rugi, mau untung sebesar-besarnya atas setiap Rupiah yang dikeluarkannya dengan ingin mendapat publisitas sebesar-besarnya di media kelas wahid di negara ini, tanpa menyadari kalau terlalu sering dan terlalu jor-jor an justru membawa tanda tanya bagi masyarakat.

Namun, saya mengakui, citra itu juga bagaikan candu. Semakin banyak dibicarakan orang yang positif, semakin besar hidung dan kepala orang. Semakin ingin dia selalu dibicarakan, menjadi trending topic, menjadi pahlawan. Kalau sudah begini, ia sudah tidak bisa lagi melihat sedikitpun celaan atau kritik. Maunya selalu dan semakin banyak disanjung dan dipuji puja. Bila sedikit saja tidak mendapat perhatian, orang yang kecanduan itu lalu berulah aneh-aneh agar mendapat perhatian dan dibicarakan orang. Ia lupa kali ini ia dibicarakan dengan nada negatif ketimbang positifnya. Beberapa selebriti kita sudah terjeblos dalam kategori ini. Seorang diva yang lupa diri berciuman di depan umum dengan suami orang kini sudah tidak lagi dianggap diva oleh masyarakat yang dulu mengaguminya. Seorang pemain sinetron terkenal juga pernah mendapat pelajaran dari masyarakat karena upayanya mencitrakan sebagai seorang ibu yang teraniaya karena tidak mau ditemui anaknya sendiri. Ia menggedor pintu rumah mantan suaminya sambil menangis dan berteriak teriak mengatakan kangen dan cinta putranya yang masih balita. Publik menilai tindakan itu seperti sebuah adegan sinetron dan citra yang diperolehnya bukan sebagai ibu yang teraniaya, tapi bagian dari aktingnya untuk menarik simpati masyarakat.

Di sinilah pentingnya tahu batas kewajaran, karena garis antara simpati dan cemoohan hanya berbeda tipis. Kalau sudah lewat garis simpati, sangat sulit untuk memperoleh kembali simpati yang pernah didapat. Stigma negatif akan melekat cukup lama bahkan terkadang tak pernah hilang dari garis sejarah orang, perusahaan, instansi atau produk tersebut.

Hari ini saya ditunjukkan bahwa citra yang baik adalah citra yang alami dan tulus. Yang berada di garis-garis kewajaran serta norma-norma yang berlaku di sekeliling kita. Simpati di dapat dari berbagai kegiatan kita yang wajar, tulus dan membawa manfaat serta ketentraman sesuai peran kita di masyarakat. Citra yang sejati tidak bisa disulap atau dibuat. Citra yang sejati adalah citra yang tahan badai karena simpati masyarakat dibangun dari serangkaian kegiatan yang telah membuktikan sumbangsih dan ketulusan si pelaku. Karenanya citra yang disulap atau dibuat adalah citra yang sangat rapuh bagaikan pepesan kosong.

Hari ini saya diingatkan untuk mengingatkan klien-klien saya. Kalau mau citra yang baik, ya berbuatlah sesuatu yang datangnya dari hati dan membawa hasil nyata yang bisa dirasakan orang lain, bukan dengan jadi-jadian seperti membangun istana pasir : begitu kena ombak, hancur semuanya ...

No comments: