Tuesday, August 17, 2010

14 Agustus 2010 : Life Icon

Saya memang belum menyelesaikan film The Joneses, tetapi sangat terusik dengan ide cemerlangnya membuat cerita tentang konsumerime bangsa Amerika. Ceritanya ada sebuah keluarga ideal yang baru pindah dan segera menjadi idaman lingkungan barunya. Tampan, cantik, glamor dan selalu tampil “selangkah di depan” untuk urusan penampilan. Gadget terbaru, bahkan yang belum diluncurkanpun sudah digenggaman keluarga dengan dua anak remaja itu. Tak tahunya, Keluarga Jones adalah keluarga bohongan. Setiap anggota keluarganya tak punya pertalian darah, namun merupakan satu unit kerja pemasaran yang bertugas membuat orang ngiler terhadap koleksi yang dimiliki dan tak tahan untuk ikut memiliki di rumah masing-masing. Setiap anggota mendapat target penjualan dan dievaluasi kinerja (penjualannya) setiap bulannya. Penjual tertinggi kemudian dinaikkan peringkat menjadi Life Icon.
Cerita getir ini jadi mengingatkan saya akan beberapa orang yang dijadikan Life Icon oleh berbagai perusahaan agar orang mengira sang icon hidupnya berkilau karena produk yang diiklankan, padahal kenyataannya belum tentu. Saya sendiri mengalaminya dalam lingkup tertentu, hanya saja, produk yang saya wakili tentu telah melalui saringan yang benar-benar ilmiah baru mau saya bantu menjajakan.
Melihat kiat pemasaran para produsen lalu kemudian dibawa ke tingkat lebih personal dalam bentuk contoh hidup melalui kehidupan keluarga Jones, saya jadi mempertanyakan bedanya dengan kita yang “digunakan” oleh perusahaan-perusahaan ini untuk mengiklankan produk mereka. Saya pernah melihat seorang ibu paruh baya dengan dandanan menor menggunakan kaos bermerk besar dengan kerah ditegakkan, yang tak tahunya di balik kerah itu masih ada merk yang sama tertera jelas. Sang ibu dengan bangga melenggang karena kaos yang dipakainya dari merk papan atas Saya jadi prihatin, kasihan deh ibu ini, dikerjai perusahaan besar : sudah disuruh membeli, masih dijadikan sales girl pula oleh si perusahaan. Tapi pikir punya pikir, ternyata bukan ibu itu saja yang jadi korban. Saya pun demikian. Saya suka pamer gadget terbaru, dan dengan bangga menunjukkan kecanggihan fitur-fiturnya. Saya lalu berpikir bahwa gaya saya menjelaskan tentu jauh lebih meyakinkan dari tenaga sales mana pun karena saya sudah membuktikan: telah membeli dan puas dengan produk tersebut, bahkan mengiming-imingi orang lain untuk segera ikutan punya! Lagi-lagi, saya sudah mengeluarkan kocek, masih tidak sadar jadi salesman produk tersebut.
Mirisnya, banyak sekali keluarga dan orang yang mirip Keluarga Jones yang hidup dengan merk dan pamer merk, seolah unit pemasaran berbagai produk mewah dan berlaku sebagai kapstok berjalan yang nilai jual dan nilai dipercayanya lebih tinggi daripada karyawan yang dibayar untuk merayu membeli barang yang tak mungkin dimilikinya dengan gaji yang diperoleh. Saya jadi ingat juga tepat seminggu yang lalu saya mengantar keponakan yang singgah dari Perth belanja di sebuah pertokoan besar. Di sebuah gerai baju olah raga, saya dibuat heran apakah ada orang mau beli replika kaos seragam sepak bola berbagai klub dunia kesayangan yang penuh dengan logo sponsor besar-besar. Ternyata pertanyaan saya terjawab : Ada, dan banyak. Kalau tidak pihak gerai tak akan menyediakan segitu banyaknya stok.
Saya jadi sadar, selain pengguna (produk) saya juga digunakan (produk). Sebuah situasi simbiose mutualisme yang sempurna! Namun sekarang saya tidak mau lagi jadi duta produk, paling tidak di kehidupan nyata sehari-hari. Saya akan meminimalisir kehadiran logo produk di tubuh saya, paling tidak untuk kehidupan sehari-hari. Kalau soal kerja, ya... karena dibayar. Tapi kalau for free... wah tidak sajalah. Saya mau jadi ikon hidup untuk saya sendiri, yang diingini dan dikagumi orang karena diri sendiri, bukan karena segala merk yang menempel di diri saya....

No comments: