Langkah saya terhenti dan berbelok ketika saya melihat seorang rekan kantor yang baru kehilangan ayahnya sedang bercerita di ruangan sumberdaya manusia. Ia kemudian menceritakan bahwa sampai saat ini ia tidak bisa menerima ayahnya yang sangat dicintainya meninggal begitu cepatnya karena penyakit jantung. "Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, kalau saja penyakitnya parah, kita bisa memaklumi, ini tidak, begitu singkat, saya tidak siap," begitu isaknya.
Saya lalu bilang, manusia ini sukanya sadis dan menyiksa. Jadi kalau kita melihat sang ayah kena kanker dan dengan mata kepala sendiri melihat proses penderitaan Beliau menjerit sakit, rambut rontok karena terapi kemo, kehilangan napsu makan, mual, baru kita rela ditinggal pergi? Seharusnya kita bersyukur Beliau meninggal dalam keadaan tidak lama menderita dan pergi dengan enak. Mengapa kita jadi egois mau enaknya kita sendiri tanpa memedulikan orang yang katanya sangat kita cintai? Saya berkata begini bukan karena saya tidak punya perasaan, justru karena saya pengalaman dengan kepergian ayahanda tercinta, yang juga meninggal karena urusan jantung. Bukan saya tidak kehilangan, namun setiap kali saya kangen dan ingat Beliau, saya mengucapkan syukur kepada Tuhan atas kemurahan dan kemudahan proses beralihnya Ayah dari dunia fana ke alam keabadian. Saya sendiri, seperti kebanyakan kita sangat berharap dan mendambakan hal yang sama dapat dikaruniakan kepada kita, diberi kemudahan saat ajal tiba. Rasa syukur itu mengalihkan kedukaan saya menjadi nikmat atas berkah Tuhan kepada ayah dan keluarga, sekaligus melapangkan jalan ayah kembali ke haribaan Yang Kuasa. Rekan saya pun tercenung dan menyadari bahwa apa yang saya katakan benar adanya. Memang, butuh waktu, niat dan pemahaman untuk bisa mengubah rasa kehilangan yang memberatkan almarhum dengan rasa syukur yang melapangkan jalannya.
Hanya beberapa jam saya ber"kotbah" soal kematian, saya melayat klien saya yang masih berusia muda, yang kehilangan ibundanya semalam karena - juga - terkena serangan jantung. Klien saya ini masih muda, dan ibundanya juga meninggal dalam usia relatif muda : 55 tahun. Klien saya anak tunggal, ayahnya sudah lama meninggal. Beberapa bulan sebelumnya, isterinya meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil. Selama ini, ia menitipkan kedua anaknya di bawah asuhan sang ibu, namun kini ia harus berpikir bagaimana harus mengatur mengasuh anak dan kerja. Ibu mertuanya sudah mulai menghubunginya untuk menyerahkan pengasuhan anaknya kepada mertua, namun ia masih berberat hati. Baru kehilangan isteri, sekarang ibu, masa akan kehilangan pula kedua belahan hatinya? Dengan caranya sendiri yang kelihatannya tegar, namun tampak sedih dan bingung, ia mencoba berdamai dengan kehilangan orang-orang tercintanya. Ia harus tegar, karena ia seorang diri dan menjadi tumpuan kedua anaknya yang masih kecil.
Malam ini saya terjebak kemacetan yang tidak masuk akal. Maka saya mengisi waktu dengan menonton film berjudul "The Greatest" yang diperankan oleh Pierce Brosnan dan Susan Sarandon. Bertutur mengenai sebuah keluarga yang harus menerima kenyataan kehilangan putera tertua yang prestasinya sedang mekar di sekolahnya, film ini menggambarkan bagaimana ibu, ayah dan adik menghadapi kenyataan pahit ini. Masing-masing memiliki caranya masing-masing. Sang ayah cuma "makan dalam" saja, sedih tapi tak terungkapkan sampai-sampai akhirnya harus masuk rumah sakit karena stress dan rasa kehilangan yang mendalam. Sang ibu bermuram durja saja, karena setiap jengkal yang teringat hanya anak sulungnya. Rumah jadi tak terurus, anak dan suami yang masih ada tak terperhatikan, dan ia menjadi marah bila ada anggota keluarganya yang bisa rileks tertawa sedikit. Ia bahkan marah ketika pembantu membereskan ruang almarhum dan mencuci pakaiannya. Ia merasa kehilangan "bau" sang anak. Kebencian si adik terhadap kakaknya ternyata kamuflase saja, sebenarnya ia melihat kakaknya sebagai seorang sosok ideal yang ingin ditirunya, dan ia menyesal tak dapat mengucapkan selamat tinggal atas kepergian sang kakak karena kecelakaan. Semua itu masih ditambah kedatangan pacar almarhum yang hamil dan bagaimana si keluarga kecil yang patah hati ini harus berhadapan dengan kenyataan pahit lainnya.
Ketika film ini baru terputar beberapa saat, saya jadi heran sendiri : mengapa hari ini saya banyak ditunjukkan mengenai bagaimana menghadapi perpisahan karena kematian? Baru beberapa hari yang lalu, saya kehilangan seorang tante dan saya menjadi prihatin pada sepupu saya yang dalam waktu dua bulan ini kehilangan dua orang tercintanya : ibu dan suaminya.
Saya belajar bahwa rasa kehilangan ini seringkali timbul bukan melulu karena rasa cinta kita terhadap almarhum, namun karena kita kehilangan rasa nyaman dan aman sehingga kita merasa takut dan cemas bagaimana kita bisa bertahan tanpa mereka yang kita cintai.
Saya samar-samar ingat sebuah perkataan yang mengatakan :
In the end, what matters most is
How well did you live
How well did you love
and How well did you learn to let go
malam ini saya kembali mendapatkan quote yang senada :
"The Key to Happiness is learning to Let Go" - Hugh Prather
Setiap orang pasti akan meninggal, cepat atau lambat, menderita atau tidak. Manusia tak akan pernah siap sampai kapan pun bila ajal menjemput orang-orang tercinta kita. Bahkan tante saya yang berusia 97 tahun wafat, anaknya masih saja mengatakan tidak siap. Malam ini saya sekali lagi diberi pengertian bahwa ujian hidup kita adalah bagaimana kita mengikhlaskan hidup ini dan memberi arti kedamaian bagi sebuah kepergian, baik bagi yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan. Kenyataan ini sekaligus menjadi pengingat saya bahwa sepedih-pedihnya rasa kehilangan dan penyesalan kita karena merasa masih kurang berbuat banyak kepada yang telah meninggal, akan jauh lebih berarti dan berharga bila kita memberikan perhatian, curahan kasih sayang dan hormat selama mereka masih hidup...
Semoga jiwa-jiwa yang telah mendahului kita mendapat istirahat kekal di surga dan kita diberi kedamaian di bumi karena yakin bahwa mereka yang kita cintai telah kembali ke dalam pelukan Sang Pencipta.
No comments:
Post a Comment