Friday, August 13, 2010

13 Agustus 2010 : May... be no

Sore ini saya dibikin pusing dengan kepusingan seorang kerabat yang ulang tahun. Tadinya mau ada kumpul-kumpul, lalu batal karena yang bersangkutan cukup padat kegiatannya, lalu sore ini ia mengadu kalau saudara-saudara berikut orang tuanya ngambek, merasa dinomorduakan. Padahal niatnya hanya menunda, bukan meniadakan, supaya bisa punya quality time yang lebih baik ketimbang hari ini.

Saya heran, begitu banyak orang yang merasa begitu berkuasanya atas kehidupan sanak saudaranya dan menuntut banyak hal dari orang itu. Padahal sebetulnya mereka tidak benar-benar peduli dengan yang bersangkutan. Coba bayangkan : mereka selalu ribut mana pacar? kalau sudah ada, kapan kawin? kalau sudah kawin, kapan punya anak? kalau sudah punya anak, kapan punya adik? kalau sudah besar, kapan ngawinin? Mereka benar-benar suka hura-hura dan berita gembiranya, tapi sebenarnya tidak mau ambil pusing terhadap segala kerepotannya. Itulah mengapa, saya sungguh selektif hadir dan terlibat dalam kegiatan keluarga. Sering kali, terlalu banyak mulut, dan terlalu banyak ikut campur. Seperti sore ini. Apa salahnya sih ditunda beberapa hari? Mereka tidak mau tahu bagaimana ribetnya kegiatan sang anak. Yang mereka tahu hanyalah satu pakem : ulang tahun ya harus makan-makan dengan keluarga di hari ulang tahunnya. Nggak boleh ditunda. Kalau ditunda, berarti tidak mendahulukan keluarga. Tidak sayang lagi sama keluarga. Menomorduakan keluarga, atau bahkan menomorsekiankan keluarga.

Saya sedih dengan pandangan seperti ini. Menunda kan bukan berarti tidak sayang dan tidak cinta dan tidak menomorsatukan. Justru keinginan menunda adalh untuk memberikan porsi dan perhatian yang terbaik. Namun "gesture" ini tidak ditangkap atau diambil peduli oleh sang keluarga.

Saya jadi heran, sebetulnya keluarga ini sayang nggak sih dengan anggota keluarganya? Atau yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri? Mengapa mereka tidak memikirkan dari segi orang yang dicecarnya? Jadi anggota keluarga ini sebenarnya cuma objek saja kah? bukan subjek? Bisa jadi, karena ternyata yang dipikirkan bukan yang bersangkutan tapi dirinya sendiri dengan kedok norma kebiasaan siklus hidup manusia : lahir, tumbuh (sekolah dimana, mau jadi apa, kerja dimana), pertalian (pacar, jodoh, kapan menikah), kerumahtanggaan (kapan punya anak, kapan punya adik, anaknya apa, lho kok cewek semua, nggak ngejar dapat adik laki? lalu, rumahnya sudah kekecilan, pindah ke rumah gedean dong, kok di daerah sempit, pindah ke daerah elit lah, kok nggak ada kolam renang, gak asik aaah), menjadi orang tua (mana menantunya, kapan ngawinin, mana cucunya), sampai meninggal (lalu ribut soal warisan).

Saya jadi begidik. Memang hidup manusia seputar itu saja ya topiknya. Banyak orang yang merasakan sama namun tidak berani berontak dari tatanan yang ada. Jadi, ya tunduk mengikuti, sambil stress-stress sendiri sambil mengumpat hanya dalam hati. Saya jadi ingat sebuah iklan yang tanya : kapan kawin... daripada stress dijawab : May... yang langsung disambut heboh oleh keluarga. Si perjaka meneruskan lirih sambil meringis : may be yes, may be no ...

Mungkin blog ini bisa membukakan mata kepada kita generasi penerus untuk tidak melakukan kebodohan yang sama yang dilakukan generasi sebelum kita. Put unnecessary pressure kepada individu-individu yang kita labeli tersayang dan tercinta.

Hari ini saya belajar untuk tidak menuntut ini dan itu kepada keluarga saya, dan mencoba memahami dan menghormati setiap langkah dan keputusan mereka. Peduli amat dengan urutan gila yang dibikin masyarakat. Yang terpenting adalah kebahagiaan orang yang saya cintai...

(n.b. akhirnya daripada pusing, kerabat saya jadi juga makan malam bersama keluarga, dan saya kecipratan makan enak. nyam-nyam!)

No comments: