Monday, August 09, 2010

9 Agustus 2010 : Dunia Semu

Sambil menunggu terurainya parkir di halaman sekolah Islam internasional, saya mengobrol ngalor-ngidul bersama Kepala Sekolah, Wakilnya, dan Olga Lydia. Kami berada di sana sebagai rangkaian program edukasi dari sekolah ke sekolah mengenai manfaat buah segar. Saya lalu menjelaskan bahwa program ini telah dan akan dilaksanakan di berbagai sekolah dasar di Jakarta. Salah satu calon sekolah dasar yang kami dekati, adalah sebuah sekolah elite bernuansa internasional juga yang letaknya di Jakarta Selatan.

Awalnya sekolah itu mengkonfirmasi kesediaannya, namun makin lama cerewetnya makin mengada-ada. Program edutainment berdurasi kurang lebih satu jam ini meliputi cerita, gerak dan lagu serta aneka permainan seru. Dalam ceritanya, adalah seorang gadis yang disuruh ibunya mengantar kue ke nenek. Dalam perjalanan ia diserang berbagai penyakit dan diselamatkan oleh seorang pahlawan yang selalu memberikan buah segar untuk dimakan si gadis agar ia cepat sembuh dari kekurangan vitamin C, E dan serat. Penyakitnya berbentuk monster ala dementor Harry Potter. Di sekolah lain, inilah bagian terseru dimana para siswa berteriak ingin menyelamatkan dan memberitahu si gadis manis dari tipu daya dan terkaman si monster. Namun, sekolah yang satu ini berbeda. Kepala sekolahnya mengatakan Beliau tidak mau anak-anak sekolahnya takut, dan minta agar warna monster diganti warna pink. Masih banyak permintaan lain yang sangat mengada-ada, yang membuat saya memutuskan segera membuat surat menyesal tak bisa mengadakan acara di sekolah tersebut. Monster warna pink? Setan jambu, apa!

Olga Lydia lalu menimpali, saat ia kuliah ia sekelas dengan dua pria ganteng dari keluarga kaya lulusan SMA ekslusif. Suatu saat ia mendengar keributan di kelasnya dan menemui si dua pria itu ketakutan melihat sebuah ngengat terbang. Olga dengan cueknya mengusir si ngengat dan meninggalkan ke dua pria itu dalam keadaan malu. Ia kemudian seakan menegaskan cerita saya, bahwa sesuatu yang over-protective sangat tidak baik bagi perkembangan si anak. Dunia semu yang diciptakan orang tua sangat tidak membantu menempatkan si anak dalam situasi nyata yang harus dihadapinya suatu saat kelak.

Selama 46 tahun, saya cukup beruntung diberi kelonggaran cukup oleh orang tua karena boleh lepas bermain di jalan bersama teman-teman sebaya. Keadaan seperti makin lama makin tak terlihat di tahun-tahun terakhir dimana orang tua tidak memperbolehkan anaknya naik kendaraan umum, pergi harus diantar dan ditunggui, dan semua serba diatur dan dipagari, dipantau dan dijaga. Awalnya, alasannya karena masih kecil. Namun saat mencapai akhir balik, ada lagi alasan lain, harus dijaga supaya tidak salah bergaul. Ada lagi yang begitu takutnya sang anak kena malaria atau demam berdarah, sehingga setiap saat kulit sang anak tak pernah lepas dari cairan pengusir nyamuk. Kalau sudah menikah, maunya tidak jauh-jauh dari sang anak, katanya supaya memudahkan anak bekerja karena bisa titip cucu pada mereka.

Orang tua sering tidak sadar, sikap protektif dan keinginan membantu anaknya justru menjerumuskan si anak ke dalam lobang ketidakmandirian. Suatu saat toh sang orang tua akan berpulang, dan jadilah anak-anak mereka manusia yang cacat sosial. Tidak tahu bagaimana menghadapi dunia sesungguhnya karena selama ini selalu tinggal di istana khayalan. Cerita ini sebetulnya merupakan pengulangan dari kisah Pangeran Siddarta Gautama yang tidak diberi kebebasan oleh keluarganya padahal memiliki potensi luar biasa menjadi seorang suci. Kalau sang pangeran tidak memberontak, maka Beliau tidak akan pernah menemukan jati dirinya sebagai seorang Buddha yang menjadi pantunan jutaan orang selama ribuan tahun.

Perlakuan orang tua terhadap anaknya ternyata tidak selamanya seperti ini. Di sisi yang sangat berbeda, Kepala Sekolah tadi mengisahkan ada seorang anak didiknya yang kerjanya membanting pintu, dan bersikap kasar. Rupanya, ia kehilangan figur ayah yang selalu sibuk bekerja sehingga teguran apa pun, termasuk yang bersifat teriakan dan marah menjadi obat atas kerinduannya diperhatikan orang. Olga juga menambahkan bahwa ada seorang anak yang mengalami eksim berat, dengan gatal gatal dan luka sekujur tubuhnya. Sudah pergi ke dokter mana saja, ia tak dapat disembuhkan bahkan makin parah. Suatu saat sang Ibu berjumpa dengan seorang konselor. Konselor tersebut mendekati si anak dan menyapa. Saat itu juga sang anak lalu gemetar, kumat gatelan dan menggaruk lukanya. Si ibu yang jijik dengan keadaan si anak lalu menyuruh susternya untuk memegangi tangan anaknya agar tidak menggaruk luka. Sang konselor lalu menyela dan meminta si ibu untuk memeluk si anak. Tadinya sang ibu ragu karena jijik atas kondisi anaknya, namun karena didesak terus, akhirnya ia memeluk juga anaknya yang korengan itu. Seketika, hilanglah gemetar dan rasa gatal pada si anak. Diagnosanya? Sang anak rindu dekapan sayang ibunya.

Cerita nyata yang bikin miris ini menggambarkan bahwa begitu banyak cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka batin seseorang. Hanya dengan sentuhan dan kasih sayang, suatu keadaan yang menahun dapat terselesaikan dan tersembuhkan.

Hari ini saya belajar untuk tidak tinggal di alam mimpi, karena alam mimpi tidak memberikan manfaat bagi kita. Dalam wawancaranya di majalah Esquire bulan ini, Sandiaga Uno menceritakan ia kerap naik mobil biasa untuk mengingatkan dia agar tetap rendah hati, karena bila naik mobil mewah, ia selalu mendapat perlakuan istimewa sedangkan bila naik mobil butut, ia diusir-usir.

Dari semua cerita ini, saya menyimpulkan, hiduplah di alam nyata dengan penuh cinta, karena di antara realita yang ditampilkan alam nyata tersirat kekuatan, keindahan, dan kasih sayang. Tugas kita adalah untuk bisa memilah mana yang sampah, mana yang indah. Saat kita bisa menemukan keindahan kehidupan, kita mencapai tujuan yang paling hakiki dari hidup ini.

No comments: