Ini bukan kisah perjuangan melawan penjajah. Ini adalah soal jiwa penjajah yang ada dalam diri kita. Sore ini seorang teman saya curhat karena mobilnya yang semata wayang ditinggal oleh kakaknya di pelataran tempat kerjanya dalam keadaan pintu tidak dapat ditutup setelah dipinjam beberapa hari yang lalu. Saat diserahkan, mobil itu dalam keadaan sehat seratus persen. Kini setelah rusak, malah ia yang dimarah-marahi kakaknya dan dimaki, "Lain kali gua nggak mau pinjam lagi sama lu!" Ketika ia menelpon orang tuanya, mereka malah bilang, "sudah lah, sama kakak sendiri kok ribut!"
Wah, saya rasanya ikut dongkol, dan kalau yang bilang begitu kakak saya, mungkin sudah saya tonjok habis. Saya tak habis berpikir mengapa ada orang yang tak tahu diri seperti kakaknya. Sudah pinjam punya orang, masih mengancam tidak mau pinjam lagi setelah merusakkan tanpa rasa bersalah. Ia menjelaskan mengenai kronologis kerusakan pintu, "Nggak tau, gua ke mobil sudah gak bisa ditutup tuh!" Juga tanpa usaha untuk memperbaikinya ke bengkel karena ogah keluar uang juga. Sekarang sang adik ketiban rezeki. Kalau lain kali tak dipinjami, nanti katanya sombong, mentang-mentang punya mobil belagu! Mentang-mentang adik, harus mau meminjami dan menurut saja diinjak-injak. Nanti kalau ada urusan dengan adiknya, dan tak mau membantu, dibilang kakak tak sayang adik, padahal setahun lalu, ia kehilangan uang down payment seratus juta untuk biaya pernikahan adiknya... yang batal! Dan semua orang buang badan saja, seolah seratus juta itu tidak ada artinya, dan ia diharuskan menelan saja kerugian itu karena ia "memang kakaknya". Saya bukannya mau membela si adik, tapi kebetulan saat ia meminjamkan mobilnya, saya melihatnya dengan mata kepala sendiri, karena pulangnya ia ikut nebeng mobil saya.
Saya lalu menceramahi teman saya. Okay, stop it! No more nice guy! Urusan keluarga, apa lagi mereka yang sudah menikah, bukan tanggung jawab kamu! Urusan orang tua, bukan urusan kamu! Mereka seharusnya belajar bertanggung jawab terhadap hidup mereka. Sudah bukan jamannya lagi orang tua menggantungkan diri pada anaknya. Memangnya anak mesin uang mereka yang bisa diperas-peras semaunya sendiri? Teman saya itu sempat mengumpulkan uang dari jerih payah bekerja siang malam sambil kuliah namun sekarang uangnya tinggal recehan saja di bank karena orang tua dan saudara-saudaranya.
Saya lalu mengajarinya untuk pertama-tama mengurusi diri sendiri. Penuhi kebutuhan sendiri dahulu baru membantu orang lain. Dan itu berarti cukup dana untuk kebutuhan bulanan yang memadai sesuai dengan kebutuhannya, cukup dana untuk disimpan buat hari tua, cukup dana untuk membayar kewajiban kredit mobilnya, cukup dana untuk emergency, cukup dana tabungan untuk liburan dan hiburan. Yang terakhir ini penting karena kalau tidak, kita tidak menikmati hasil keringat kita. Baru setelah itu orang tua. Atau anggota keluarga atau kegiatan sosial. Bukan sebaliknya. Itu pun buat saya ada syarat-syaratnya. Kalau mau memberi, jangan berharap kembali, jangan pula mengatur uang pemberiannya untuk ini itu, karena itu sudah jadi hak yang diberi. Juga, ikuti prinsip memberi karena yang diberi memang dalam kondisi hidup atau mati. Kalau urusan bisnis, tidak. Kalau urusan mau beli ini itu, tidak. Kalau mau liburan, lebih tidak lagi.
Mungkin terdengar sadis, tapi dalam hidup saya belajar bahwa dalam keadaan yang terburuk, tak ada yang membantu saya. Jadi, saya harus sedia payung sendiri sebelum hujan. Dalam banyak hal, saya melihat kita sering "memanjakan" orang-orang terdekat kita dengan cara yang salah. "Asal" meminjami juga termasuk cara memanjakan yang salah. Seharusnya, kalau kita benar-benar sayang pada mereka, kita harus mendidik mereka agar mereka tahu arti tanggung jawab terhadap kehidupan karena dengan demikian mereka memiliki kemampuan ketahanan dan daya juang yang mumpuni untuk menghadapi hidup. Terserah mau dimaki seperti apa, saya merasa didikan tersebut merupakan sumbangsih saya yang terbesar yang bisa saya berikan untuk hidupnya. Maka saya menasihati teman saya untuk berjiwa pejuang, yang tak kenal kompromi dalam merebut kemerdekaan demi kesejahteraan bangsa dan negara!
Sambil menasihati teman, saya hari ini belajar untuk tidak mau diperalat dan diinjak-injak para "penjajah" berselubung keluarga, kerabat atau teman. Pada saat yang sama, saya juga bercermin untuk tidak menjadi "penjajah". Masa sudah ratusan tahun dijajah, kita belum merdeka juga karena ulah orang-orang yang sok merasa nyaman jadi "kompeni" gadungan... Merdeka!
No comments:
Post a Comment