Saya iseng membuka sebuah file yang di posting seorang kawan di facebooknya. Film pendek itu berisi wawancara wakil Indonesia di ajang pemilihan Miss Universe 2010. Ada pertanyaan yang cukup personal yang harus di jawab, apa saran wanita bagi seorang pria, kado apa yang paling spesial yang pernah diterima, dan kencan apa yang terburuk. Jawaban yang diberikan, saya tidak bisa memberi komentar karena itu pendapat pribadinya, jadi ya sah-sah saja dia mau menjawab apa, namun yang saya pertanyakan adalah mengapa ia yang dijadikan wakil Indonesia? Apakah orang seperti dia pantas mewakili kita?
Ingatan kita atas ketidakbecusan bahasa Inggrisnya segera merujuk pada pendahulunya beberapa tahun yang lalu, yang segera menuai cacian karena mengatakan "Indonesia is a very beautiful city." Cap bodoh langsung ditempelkan padanya, benar atau tidaknya saya tidak tahu, namun yang pasti ketika saya berkesempatan berinteraksi dengannya, yang saya tangkap darinya adalah sebuah hati yang tulus dan baik. Jadi kalau boleh disimpulkan dari kedua kandidat ini, mereka tidak layak dipersalahkan.
Yang patut dipertanyakan adalah - sekali lagi para juri, dan kita semua. Bisa jadi ada kepentingan terselubung atau politis dengan memenangkan calon ini menjadi Puteri Indonesia yang diawal penganugerahannya saja sudah menuai kontroversi. Tapi kita diam saja. Kalau kita bilang kita tidak punya hak untuk memilih dan menentukan, salah besar. Sejarah sudah membuktikan rakyat punya suara. Ketika rakyat memberontak terhadap tekanan politik dan ekonomi yang begitu menyesakkan, rakyat yang biasa tertindas dapat kembali melawan segala bentuk penindasan dengan bersatu bersuara dan bertindak. Peristiwa 1998 adalah bukti kekuatan rakyat menggulingkan tirani. Kesatuan kita ketika diinjak-injak teroris dalam Indonesia Unite membuktikan keuletan persatuan Indonesia. Persatuan masyarakat dalam menggunakan baju batik timbul karena ulah kepongahan negera tetangga. Jadi, tak ada alasan kita cuma bisa menggerutu atas kemampuan si puteri atau si pemilihnya. Yang salah kita juga, mengapa tidak bersuara kemarin-kemarin saat ia terpilih?
Keluh kesah mengenai penyesalan atas penampilan atau atas kinerja berbagai badan di negeri ini juga semakin akrab di telinga kita. Beberapa saat yang lalu kita bahkan mendengar pemberitaan mengenai keluhan atau teguran (yang kemudian diperhalus sebagai arahan) presiden kepada menterinya yang dianggap lambat. Malam ini saya mendengar pertanyaan seorang ibu tua yang berusia 80 lebih, menanyakan ada apa dengan presiden kita? Saya tidak bisa menjawab, namun dalam hati saya heran, mengapa keluhan seperti ini dijadikan santapan publik? Yang memilih menteri siapa? Kalau Beliau sendiri, mengapa ia mengeluhkan kepada rakyat atas pilihan sendiri? Demikian juga orang-orang yang tidak puas dengan pemerintahan tertentu. Kalau tidak puas, lalu siapa yang memilihnya di pemilihan umum kemarin? Mengapa mengeluh atas pilihan sendiri?
Kita ini sering membuat malu diri sendiri karena mengeluh atas apa yang sudah kita lakukan sendiri. Mungkin karena kita kurang diajar tanggung jawab, jadi dengan mudah melemparkan dan mengekspos kesalahan yang seharusnya justru jadi tanggung jawab kita. Kalau ada yang tidak benar dengan pilihan kita, ya itu tanggung jawab kita untuk membenahinya. Bukan lalu berteriak kepada masyarakat atas pilihan yang telah kita lakukan sendiri dan menyalahkan pilihan itu. Dengan membawanya ke rana publik, berarti mencoreng diri sendiri.
Hari ini saya belajar bahwa mengeluh atas pilihan yang telah diambil sendiri sama dengan mencoreng dan mempermalukan diri sendiri. Kalau ada yang bilang self correction, sebaiknya self correction itu dilakukan atas dasar tanggung jawab dan bukannya atas dasar penghujatan. Kalau wakil kita di ajang Miss Universe memalukan, baiklah rakyat membuat petisi dan mengambil alih pemilihan ajang tersebut sehingga yang terpilih benar-benar cerminan bangsa Indonesia. Yang bangga atas budaya dan bangsanya namun berwawasan dunia. Tak apa bila dalam kenyataannya ia tak mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris, juara yang terdahulu telah membuktikan bahwa ia tak harus bisa berbahasa asing. Yang penting adalah ia telah benar-benar merepresentasikan bangsanya dan berwawasan dunia. Lalu, kalau anak buah kita tidak becus, bisa saja kan ia dipanggil secara pribadi dan diberi arahan, sementara kita sebagai pimpinan unjuk diri dan mengakui kekurangan dan janji kita untuk membenahinya, bukan buang body dan menyodorkan anak buah kita. Salah kita kenapa memilih orang yang tidak kompeten. Kalaupun itu salah pilih, tanggung jawab kita untuk membenahinya.
Morale of the whole discussion: betapa pentingnya mengambil keputusan yang bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan yang kita ambil. Itulah yang membedakan seorang pemenang dan pecundang.
No comments:
Post a Comment